Satu Tahun Operasi Banjir Al Aqsa, Abu Obaida: Israel Gagal Paham Sifat Milisi Perlawanan
TRIBUNNEWS.COM - Pada peringatan satu tahun Operasi Banjir Al Aqsa Hamas melawan Israel pada 7 Oktober, Abu Obaida, juru bicara militer Brigade Al-Qassam, merilis pernyataan video pra-rekaman pada kesempatan tersebut.
Dia menyatakan, kematian para pemimpin gerakan perlawanan Palestina bukan lah akhir perlawanan.
“Kemartiran pemimpin Haniyeh dan Nasrallah adalah bukti jelas bahwa musuh tidak memahami sifat perlawanan,” kata Abu Obaida.
"Jika pembunuhan adalah kemenangan, perlawanan terhadap pendudukan akan berakhir sejak lama," katanya.
Baca juga: Satu Tahun Perang Gaza: Salvo Roket Qassam Hujani Tel Aviv, 26.000 Rudal ke Israel Sejak 7 Oktober
Dia menambahkan bahwa “Pilihan kami adalah melanjutkan perang gesekan yang panjang dan menyakitkan terhadap musuh.”
Menyoroti satu tahun sejak apa yang ia gambarkan sebagai operasi komando paling profesional di dunia, Abu Obaida menekankan dampaknya yang kuat pada musuh.
“Hari ini, ringkasan realitas di wilayah ini adalah orang-orang Palestina yang legendaris. Ketabahan legendaris rakyat Palestina dalam menghadapi agresi dan keterlibatan Amerika.
Abu Obaida menyatakan bahwa Operasi Topan Aqsa adalah tanggapan langsung terhadap pelanggaran Israel terhadap Masjid Aqsa dan perlakuan terhadap tahanan Palestina.
Dia menegaskan kembali komitmen untuk membela hak-hak Palestina dan situs-situs suci, menekankan bahwa operasi semacam itu sangat penting dalam perjuangan yang sedang berlangsung melawan agresi dan penindasan.
Dalam pidatonya, dia menyampaikan pidato langsung kepada para pejuang Hizbullah:
“Kami mengatakan hari ini kepada saudara-saudara kami di Hizbullah bahwa kami memiliki kepercayaan penuh pada kekuatan dan kekuatan Anda.”
Merefleksikan satu tahun terakhir perang, Abu Obaida mengatakan, "Kami telah berjuang selama satu tahun penuh dalam pertempuran yang tidak setara melawan musuh kriminal."
Dia mengkritik niat pemerintah Israel, dengan menyatakan, "Pemerintah pendudukan tidak ingin melihat satu pun orang Palestina di sebelah barat Sungai Yordan."
Dia juga merujuk serangan baru-baru ini, yang menyatakan, "Operasi terbaru di Yafa hanyalah satu bab dari apa yang akan datang, dan apa yang akan terjadi akan menjadi lebih keras, insya Allah."
Baca juga: Detail Operasi Yafa, 2 Milisi Al Qassam Menyusup ke Tel Aviv, Rebut Senjata Otomatis Tentara Israel
Dia menegaskan bahwa "Musuh hanya memahami bahasa kekuatan, dan senjata hanya dapat dilawan dengan senjata."
Abu Obaida menekankan upaya Al-Qassam untuk melindungi tawanan, menyatakan, "Sejak hari pertama, kami telah bekerja untuk melindungi para tawanan dalam tahanan kami dan memastikan keselamatan mereka."
Dia mengarahkan pesan ke publik Israel, dengan mengatakan, "Anda bisa memulihkan tawanan Anda setahun yang lalu, tetapi Netanyahu terus menolak."
Dia mengungkapkan bahwa "Kami memiliki perintah di tempat bahwa jika tawanan kami terancam punah atau ada pertempuran dekat, mereka akan dipindahkan ke lokasi yang berbeda."
Abu Obaida memperingatkan bahwa “Risiko terhadap tawanan musuh di Gaza tumbuh dari hari ke hari.”
Dia menyimpulkan dengan seruan untuk bertindak, mendesak, “Kami menyerukan serangan cyber terbesar terhadap musuh oleh para ahli perang elektronik,” dan “Kami mendesak para ulama umat untuk menyatakan kewajiban jihad melawan musuh bangsa.”
3 Target Perang Israel Belum Tercapai
Serangan Israel terhadap Gaza yang menewaskan lebih dari 40.000 warga sipil, telah memasuki satu tahun.
Jurnalis Al Jazeera, Soraya Lennie, mengingatkan kembali soal tiga tujuan Israel di Gaza, selama satu tahun serangan sejak 7 Oktober 2023.
Tujuan pertama, kata Lennie, adalah soal pembebasan sandera.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan pejabat-pejabat lainnya sudah berulang kali menyatakan akan membebaskan para sandera di Gaza.
Hingga saat ini, Israel memperkirakan ada 101 dari total 239 sandera yang ditahan di Gaza sejak 7 Oktober 2023.
Dari angka tersebut, Israel hanya bisa memulangkan delapan sandera dan membunuh tiga lainnya karena salah mengira sebagai pejuang Hamas, dikutip dari tayangan video Al Jazeera.
Beberapa telah dipulangkan lewat pertukaran sandera antara Israel dan Hamas pada November 2023.
Sementara, puluhan sandera lainnya dilaporkan Hamas tewas akibat serangan udara Israel yang membabi-buta di Gaza.
Keluarga sandera Israel selama berbulan-bulan rutin menggelar unjuk rasa di jalanan Tel Aviv maupun wilayah lainnya, mendesak Netanyahu untuk menyetujui gencatan senjata dengan Hamas demi pembebasan sandera.
Negosiasi tidak langsung antara Israel dan Hamas, yang dimediasi oleh Mesir-Qatar dan didukung Amerika Serikat (AS), telah mencapai tahap kritis karena Netanyahu ngotot melanjutkan perang di Gaza.
Bahkan, pejabat Israel dan AS sama-sama menyebut Netanyahu berulang kali menyabotase kesepakatan tersebut demi memenuhi ambisinya.
Baca juga: 4 Pemimpin Senior Hizbullah Tersisa di Tengah Serangan Israel, Ada Besan Mendiang Jenderal Iran
Keluarga sandera Israel pun menuding Netanyahu mengabaikan nyawa para sandera untuk mempertahankan posisi politiknya.
"Netanyahu secara sadar memilih untuk mengorbankan nyawa para sandera agar tetap berkuasa," kata keluarga sandera Israel saat unjuk rasa di luar Kementerian Pertahanan di Tel Aviv, Sabtu (5/10/2024), dilansir Anadolu Ajansi.
Mereka juga menyatakan, Netanyahu "tidak hanya gagal bertanggung jawab, tapi juga sengaja mengabaikan penderitaan mereka (sandera)."
Tujuan kedua dan ketiga Israel adalah memusnahkan kelompok militan Palestina, Hamas, dan melemahkan kemampuan militernya.
Israel juga memastikan, Hamas tak akan lagi menjadi ancaman bagi negara itu.
Untuk mengupayakan tujuan tersebut, Benjamin Netanyahu bersikeras memegang posisi strategis Israel di wilayah Philadelphia dan Netzarim di Gaza selatan dan tengah.
Netanyahu juga menegaskan ia tak akan menerima Hamas kembali mengontrol Gaza.
Sementara, Hamas telah menuntut penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza, dan pemulangan tanpa hambatan bagi warga sipil yang mengungsi.
Diketahui, Israel menggunakan poros Netzarim, yang memisahkan Gaza menjadi dua bagian, untuk menghalangi pergerakan warga sipil menuju tempat yang lebih aman.
Baca juga: Iran Sukses Serang Israel, Komandan IRGC Brigjen Hajizadeh Dianugerahi Gelar Ordo Penaklukan
Poros itu, lapor Institute for the Study of War, juga digunakan Israel untuk mengisolasi brigade-brigade Hamas.
Meski demikian, tak diketahui secara pasti apa rencana Netanyahu untuk mencapai tujuan tersebut.
Lalu, apakah Hamas sudah berhasil dikalahkan?
Beberapa waktu lalu, Juru Bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Daniel Hagari, mengatakan Hamas tak bisa dimusnahkan begitu saja.
"Gagasan bahwa Hamas dapat dihancurkan, bahwa Hamas telah lenyap - sama saja dengan melemparkan pasir ke mata publik," ujar Hagari dalam wawancara bersama Channel 13 Israel pada Juni 2024, dilansir The Times of Israel.
"Hamas adalah sebuah ideologi. Hamas adalah sebuah partai. Ideologi ini telah mengakar di hati rakyat (Palestina). Siapapun yang berpikir kita bisa melenyapkan Hamas, adalah salah," imbuh Hagari.
Saat itu, Hagari juga memperingatkan, "jika pemerintah tidak menemukan alternatif, (Hamas) akan tetap berada" di Jalur Gaza.
Meski demikian, lima brigade reguler Hamas dilaporkan mengalami kemunduran signifikan.
"Minggu-minggu ini, Hamas mengklaim serangannya terhadap pasukan Israel di Rafah dan Khan Younis telah menurun drastis," lapor Jurnalis Al Jazeera, Soraya Lennie.
Klaim itu membuat analis menyimpulkan, dua brigade Hamas mengalami penurunan.
Analis juga menyebut, tiga brigade Hamas di Gaza tengah dan utara mengalami kekurangan senjata dan personel.
IDF diketahui juga menghancurkan sebagian jaringan terowongan di Gaza.
Tapi, media Israel mengutip pejabat berwenang, melaporkan brigade-brigade Hamas jauh dari "terkalahkan", kata Lennie.
"Militer Israel juga kesulitan mengidentifikasi dan menargetkan struktur keamanan Hamas yang masih utuh."
Baca juga: Rombongan Babi Liar di Lebanon Buat Pasukan Israel Panik Ketakutan, Dikira Pejuang Hizbullah
"Jadi, selama setahun menyerang Gaza, Israel belum benar-benar mencapai satu dari tiga tujuannya," jelas Lennie.
Satu Tahun Serangan Israel di Gaza
Serangan Israel selama satu tahun di Gaza, telah menyebabkan banyaknya korban jiwa dan materi.
Menurut data yang dirilis kantor media Gaza pada 30 September 2024, militer Israel telah melakukan 3.650 pembantaian selama setahun terakhir.
Lebih dari 41.800 orang tewas dan lebih dari 96.800 lainnya terluka. Sementara, 10.000 orang masih hilang atau diduga tewas tertimpa reruntuhan.
Mayat 520 warga Palestina ditemukan dari tujuh kuburan massal yang ditemukan di rumah sakit.
Korban tewas di Gaza termasuk 42 persen anak-anak, 27 persen perempuan, dan 31 persen laki-laki.
Anak-anak menjadi korban serangan Israel, dengan 171 bayi baru lahir meninggal beberapa saat setelah lahir dan 710 bayi berusia di bawah satu tahun tewas.
Bahkan, janin ditemukan di bawah reruntuhan. Sekitar 25.973 anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya.
Ratusan keluarga kehilangan semua anggotanya dalam serangan Israel. Sementara, ribuan keluarga hanya memiliki satu atau dua orang yang selamat.
Menurut pernyataan kantor media Gaza pada 2 Oktober 2024, selama perang yang berlangsung selama setahun, 902 keluarga musnah sepenuhnya, 1.364 keluarga hanya memiliki satu anggota yang masih hidup, dan 3.472 keluarga hanya memiliki dua orang yang selamat.