TRIBUNNEWS.COM, SEOUL - Lebih dari 100 warga Korea Utara hilang secara misterius setelah ditangkap oleh polisi rahasia.
Mereka ditangkap saat mencoba membelot dari Korea Utara atau bahkan karena mencoba menelepon kerabatnya di Korea Selatan.
Demikian penjelasan kelompok hak asasi manusia yang berpusat di Seoul pada Kamis (31/202/2024).
Kelompok Kerja Keadilan Transisi (TJWG) merilis laporan yang merinci pola penghilangan paksa melalui studinya berdasarkan wawancara dengan 62 orang pelarian Korea Utara di Korea Selatan.
Puluhan ribu warga Korea Utara telah membelot dalam beberapa dekade sejak Perang Korea berakhir pada tahun 1953.
Banyak dari mereka yang ditangkap atau dipulangkan dikirim ke kamp penjara atau fasilitas penahanan lainnya sebelum dibebaskan.
Kelompok tersebut mengidentifikasi 113 orang dalam 66 kasus penghilangan, termasuk kasus-kasus dalam arsip yang dikelola bersama organisasi internasional lainnya, serta peta yang menggambarkan rute pemindahan.
Dari 113 orang tersebut, 80 persen atau 90 orang ditangkap di Korea Utara dan sisanya di China atau Rusia.
Sekitar 30 persen menghilang sejak pemimpin Kim Jong Un berkuasa pada akhir tahun 2011.
Hampir 40 persen dari mereka hilang setelah tertangkap saat berusaha melarikan diri dari negara tersebut.
Sementara 26 persen bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan anggota keluarga lainnya.
Hampir 9 persen dituduh berhubungan dengan orang-orang di Korea Selatan atau negara lain.
Lebih dari 81 persen menghilang setelah dipindahkan dan ditahan oleh Kementerian Keamanan Negara (MSS), polisi rahasia Korea Utara yang dikenal sebagai "bowibu", menurut laporan tersebut.
Seorang narasumber yang membelot ke Selatan pada tahun 2018 dari kota perbatasan China, Hyesan, mengatakan bahwa temannya ditangkap oleh MSS saat mencoba memulihkan ponsel China yang disembunyikan di pegunungan dan kini dikabarkan telah meninggal.