News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemilihan Presiden Amerika Serikat

Ini Dia Konsekuensi Jika Donald J Trump Kembali Jadi Presiden AS

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un (Kiri) dan Presiden AS Donald Trump berjabat tangan selama pertemuan di sisi selatan Garis Demarkasi Militer yang membagi Korea Utara dan Selatan, di Area Keamanan Bersama (JSA) Panmunjom di zona Demiliterisasi (DMZ) pada tanggal 30 Juni 2019.

"Oleh karena itu, cara terbaik untuk menyenangkan para kandidat untuk jabatan tertinggi Amerika pada tanggal 5 November adalah dengan terus menghancurkan rezim Nazi di Kiev," kata Medvedev.

Meskipun Moskow skeptis tentang kemampuan Trump untuk mengakhiri perang, rezim Kiev "khawatir" tentang miliarder Amerika yang kembali ke Gedung Putih.

"Kami khawatir dengan Trump," kata seorang pejabat senior Ukraina kepada The Guardian.

Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara pada pertemuan KTT BRICS di kota Kazan, barat daya Rusia pada Rabu (24/10/2024). (Sergey Bobylev/Handout/brics-russia2024.ru)

Sumber lain, kali ini dari struktur keamanan Ukraina, mengatakan hal sama kepada surat kabar Inggris tersebut.

"Semua orang memahami Trump sama sekali tidak peduli dengan Ukraina, dan bahwa kepresidenan Trump akan menjadi perjalanan ke kasino bagi Ukraina,” kataya.

“Kita bisa menang besar atau kita bisa kehilangan segalanya. Namun, sekarang semua orang sudah kelelahan, dan beberapa orang bersedia membuat taruhan yang berisiko," katanya.

Tidak diragukan lagi, seperti rekan-rekan mereka di Eropa, yang sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan kepresidenan Trump, rezim Kiev akan merasa lega jika Harris menang.

Dengan cara ini, hasil pemilihan presiden AS adalah masalah hidup dan mati bagi rezim Kiev karena perlambatan atau penghentian senjata hanya akan mempercepat kemajuan Rusia.

Dukungan militer Eropa sangat penting bagi Ukraina. Namun, itu tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan dukungan AS, yang jumlahnya lebih dari $64 miliar, melampaui bantuan militer yang diberikan oleh semua sekutu lainnya secara kolektif.

Tampaknya Eropa yakin Trump pasti akan memperlambat atau menghentikan bantuan militer ke Ukraina dan sedang mempersiapkan skema otonominya sendiri jika Partai Republik terpilih.

Bantuan Eropa tidak dapat menggantikan sedikit pun bantuan Amerika, yang hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat Ukraina.

Dari Polandia Perdana Menteri Donald Tusk mengatakan era negara-negara Eropa yang menyerahkan keamanan mereka ke Amerika telah berakhir.

Donald Tusk menambahkan, itu tidak akan tergantung Pemilihan Presiden AS akan dimenangkan oleh Kamala Harris atau saingannya dari Partai Republik Donald Trump.

Tusk, yang menjabat sebagai Presiden Dewan Eropa dari 2014 hingga 2019, menyampaikan pernyataan tersebut dalam sebuah posting di platform X.

“Harris atau Trump? Beberapa orang mengklaim masa depan Eropa bergantung pada pemilihan Amerika, sementara itu pertama-tama dan terutama bergantung pada kita,” tulisnya.

Namun, UE menurut Tusk hanya akan dapat mengambil tindakan sendiri jika akhirnya tumbuh dan percaya pada kekuatannya sendiri.

“Apa pun hasilnya (dari pemilihan AS), era serah terima geopolitik telah berakhir bagi Eropa,” tegas Tusk.

Elite Eropa Gusar

Financial Times mengatakan dalam sebuah artikel pada Sabtu menulis, banyak orang Eropa tidak bisa tidur di malam hari karena prospek Donald Trump memenangkan pemilihan.

Pendukung Ukraina di Eropa juga khawatir Trump mungkin mencoba menyelesaikan perang di sana dengan syarat yang pada dasarnya merupakan kemenangan bagi Rusia.

Masih menurut Financial Times, sebagian besar orang Eropa akan merasa lebih nyaman dengan Harris di Ruang Oval.

Selama kampanye, kandidat Demokrat tersebut telah menyatakan dukungan kuat untuk NATO, berjanji untuk terus mendukung Ukraina, dan menekankan pentingnya aliansi Amerika.

Sementara terhadap konflik Israel dengan kekuatan sekitarnya, Trump mungkin akan membuat sedikit perubahan tanpa mengurangi dukungannya terhadap Tel Aviv.

Sebagaimana pernah dilakukan Trump semasa berkuasa dulu, ia akan bersikap keras terhadap Iran. Pendekatannya akan politis diplomatis, bukan menggunakan kekuatan senjata.

Sementara terhadap konflik Semenanjung Korea, Trump pernah merintis peredaan ketegangan atau bahkan reunifikasi dua Korea.

Ia kemungkinan akan melanjutkan upaya itu, dan pasti akan berdampak pada posisi Korea Selatan yang saat ini dipimpin tokoh agresif yang memusuhi Pyongyang.

Terhadap Tiongkok, Trump juga akan meneruskan kebijakan kerasnya yang memicu perang dagang sengit antara kedua kekuatan raksasa ini.

Slogan Trump yang ingin mengembalikan kedigjayaan AS di berbagai bidang, pasti akan berdampak pada upaya menarik kembali investasi besar-besaran ke tanah Amerika.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini