Peskov menyebut, penggunaan rudal non-nuklir oleh Ukraina, berdasarkan doktrin baru, "dapat memicu respons nuklir."
Namun, ia menegaskan bahwa langkah ini hanya akan diambil sebagai opsi terakhir.
Analisis: ATACMS Bukan "Senjata Ajaib"
Beberapa analis Ukraina menilai bahwa keputusan Biden berkaitan dengan warisan politiknya sebelum ia meninggalkan jabatannya pada Januari 2025 mendatang.
"Ini adalah upaya untuk mencatatkan 'Saya telah melakukan semua yang saya bisa' dalam memoarnya," kata Aleksey Kushch, seorang analis di Kyiv.
Namun, analis lain seperti Nikolay Mitrokhin dari Universitas Bremen, Jerman, mengatakan bahwa ATACMS bukanlah senjata yang mampu mengubah jalannya perang.
"ATACMS pada prinsipnya tidak dapat mengubah apa pun, dan kerusakan yang ditimbulkannya selalu terbatas, terutama jika jumlahnya terlalu sedikit," ujarnya.
Menurutnya, Rusia telah lama mengantisipasi izin AS tersebut dengan memindahkan pasukan dan fasilitas militernya dari area yang dapat dijangkau oleh rudal ini.
Meski demikian, ATACMS tetap bisa memberikan dampak simbolis dengan menyerang target strategis seperti jembatan atau depot bahan bakar. Tantangan di Medan Perang
Ukraina menghadapi tantangan besar, terutama dalam mempertahankan garis depan yang semakin panjang dengan jumlah prajurit yang menurun drastis.
Letnan Jenderal Ihor Romanenko, mantan wakil kepala staf umum angkatan bersenjata Ukraina, menyoroti bahwa Ukraina masih kalah dalam hal persenjataan dan jumlah tentara di medan perang.
"Rusia melengkapi bom berat luncur dengan mesin dan baling-baling, menjadikannya senjata jarak jauh yang sulit dicegat," katanya.
Baca juga: Peringatkan Amerika, Putin Tanda Tangani Doktrin Baru yang Memungkinkan Penggunaan Senjata Nuklir
Romanenko juga mencatat bahwa produksi senjata dan amunisi dasar di Ukraina masih tertinggal, sementara Rusia terus meningkatkan kapasitas industrinya.
Kekurangan prajurit terlatih juga menjadi masalah kritis bagi Ukraina.
Meski kampanye mobilisasi besar-besaran dilakukan, negara itu menghadapi kesulitan dalam menggantikan prajurit veteran yang sudah kelelahan.
"Jika tidak ada percepatan dalam mobilisasi dan pelatihan prajurit, situasinya akan memburuk secara serius," pungkas Romanenko.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)