TRIBUNNEWS.COM - Serangan mendadak dilakukan oleh pasukan pemberontak yang menentang rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad, memicu babak baru dalam perang saudara di negara tersebut.
Mengutip EuroNews, pada hari Rabu (27/11/2024), pemberontak dari berbagai spektrum pasukan oposisi membentuk koalisi baru yang disebut "Komando Operasi Militer". Mereka cepat menyapu desa-desa untuk mencapai kota terbesar kedua di negara itu, Aleppo.
Para pejuang pemberontak mengambil alih sebagian besar Aleppo pada hari Sabtu, menguasai bandara kota dan memperluas serangan mereka ke provinsi terdekat.
Dalam pidatonya pada Sabtu (30/11/2024), Assad berjanji akan mempertahankan stabilitas dan integritas teritorial negara itu.
Apa yang Terjadi di Suriah?
Mengutip USA Today, perang saudara Suriah berawal dari tindakan keras Assad terhadap protes pro-demokrasi pada tahun 2011.
Lebih dari satu dekade kemudian, sekitar setengah juta orang telah tewas, menurut The Syrian Observatory for Human Rights, sebuah kelompok pemantau yang berbasis di Inggris.
Jutaan warga Suriah melarikan diri ke luar negeri, sementara infrastruktur utama hancur.
Jaringan tetangga Suriah dan negara-negara di seluruh dunia memilih berpihak antara pemerintah Assad atau berbagai kelompok oposisi pemberontak.
Lantas, Mengapa Perang Saudara Kembali Membara Sekarang?
Gencatan senjata yang ditengahi oleh Turki (pendukung oposisi) dan Rusia (pendukung Assad) telah berlaku sejak 2020.
Serangan pemberontak baru dimulai minggu lalu, ketika pejuang anti-Assad berusaha merebut lebih banyak wilayah yang dikuasai pemerintah.
Pemberontak mengeklaim, serangan ini sebagai respons terhadap peningkatan serangan dari pasukan Assad.
Baca juga: Mantan Menlu Austria Karin Kneissl : Barat Telah Memainkan Permainan Kotor di Ukraina dan Suriah
Namun analis mengatakan, meletusnya pertempuran baru ini kemungkinan merupakan konsekuensi langsung dari apa yang terjadi di luar perbatasan Suriah.
Kejadian tersebut, termasuk perang Hizbullah yang didukung Iran – sekutu Assad – dengan Israel di Lebanon.
Perang Rusia di Ukraina juga memengaruhi wilayah tersebut.
"Hizbullah telah dilemahkan oleh konfliknya baru-baru ini dengan Israel. Rusia masih terlibat dalam perang di Ukraina dan menghadapi tekanan ekonomi. Iran sedang kewalahan, dengan jalur komunikasi darat dan sekutu regionalnya diserang secara langsung," kata Mohammed Albasha, pendiri Basha Report, sebuah konsultan yang berbasis di Virginia yang mengkhususkan diri dalam urusan Timur Tengah.
"Dengan latar belakang ini, Turki dan sekutunya memanfaatkan momen ini."
Siapa yang Berperang dan Mengapa Mereka Berperang?
Kelompok militan dan politik Islam Sunni bernama Hayat Tahrir al-Sham atau HTS dan sekutunya adalah dalang di balik serangan pemberontak baru-baru ini.
HTS memiliki hubungan historis (meskipun sekarang terpecah) dengan al-Qaeda dan kelompok teroris ISIS.
HTS ingin menggulingkan Assad, mengusir Iran dari wilayah tersebut, dan mengejar ideologi ekstremis mereka.
Pendukung militer utama Assad adalah Rusia dan Iran.
Rusia terlibat dalam konflik Suriah pada tahun 2015 untuk mendukung rezim Assad.
Presiden Rusia Vladimir Putin ingin menegaskan kekuatan negaranya di panggung dunia dan bertindak sebagai "penyeimbang" bagi AS.
AS pada saat itu mempersenjatai dan memberikan perlindungan udara kepada kelompok pemberontak anti-Assad, termasuk suku Kurdi di Irak dan Suriah, yang secara bersamaan melancarkan perang melawan ISIS.
Iran, sementara itu, telah lama mendukung rezim Assad dengan menyalurkan dana dan pejuang kepadanya melalui Hizbullah.
Iran melakukan ini untuk mencapai tujuan keamanan nasionalnya, salah satunya dengan memanfaatkan Suriah untuk menekan tetangganya, Israel, musuh bebuyutan Iran.
Baca juga: Israel Berharap Rezim Suriah Melemah, Tak Ingin Rezim Suriah Runtuh, Suriah Lemah Tel Aviv Girang
Turki, tetangga utara Suriah, memberikan dukungannya kepada kelompok oposisi anti-Assad karena ingin membendung gerakan separatis Kurdi di wilayah tersebut, termasuk di Turki, di mana separatis selama beberapa dekade melancarkan apa yang digambarkan pemerintah sebagai serangan teror.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, juga menghadapi tekanan politik domestik yang semakin meningkat untuk mendeportasi pengungsi Suriah yang telah melarikan diri ke Turki secara besar-besaran sejak perang dimulai.
Apa yang Terjadi Sekarang?
Rezim Assad sudah mengakar kuat.
Sebelum konflik kembali mencuat baru-baru ini, pemerintahan Assad menguasai sekitar 70 persen wilayah Suriah, menurut lembaga pemikir United States Institute of Peace.
Meningkatnya pertempuran dari gencatan senjata yang sebagian besar tidak aktif, meningkatkan kemungkinan terjadinya front kekerasan dan bergejolak lainnya di Timur Tengah.
Apakah pemerintahan Assad dapat bertahan dan makmur pada akhirnya bergantung pada seberapa besar campur tangan Rusia, Iran, dan Hizbullah, yang ketiganya telah memungkinkannya untuk tetap berkuasa.
Ayman Abdel Nour, mantan teman pemimpin Suriah semasa kuliah kedokteran di Damaskus dan pemimpin redaksi All4Syria, media berita independen terkemuka, mengatakan bahwa dalam beberapa minggu terakhir Assad menolak upaya Rusia untuk membuatnya bertemu dengan Erdogan menjelang masa jabatan kedua Presiden terpilih AS, Donald Trump.
Menurut Nour, pertemuan itu bertujuan untuk menemukan solusi jangka panjang bagi perang saudara Suriah yang telah berlangsung selama 13 tahun, khususnya terkait dukungan dari aktor non-negara seperti Hizbullah, pada saat Trump memberi isyarat bahwa ia ingin menarik sisa 900 pasukan AS di Suriah yang melawan pengaruh Iran.
"Kemajuan pesat oleh pasukan pemberontak, dikombinasikan dengan manuver kekuatan eksternal dengan kepentingan yang saling bertentangan, membuat masa depan Suriah menjadi tidak pasti," kata Albasha.
AS, Jerman, Prancis dan Inggris menyerukan de-eskalasi di Suriah
AS, Jerman, Prancis, dan Inggris mengeluarkan pernyataan bersama pada hari Minggu (1/12/2024) yang menyerukan de-eskalasi kekerasan di Suriah.
Sekutu NATO mengatakan mereka memantau dengan saksama perkembangan di Suriah, tempat 255 orang, sebagian besar militan, telah tewas sejak Rabu (27/11/2024) lalu, menurut Syrian Observatory for Human Rights.
Dalam pernyataan bersama mereka, negara-negara tersebut mendesak de-eskalasi untuk melindungi warga sipil dan infrastruktur guna mencegah pengungsian lebih lanjut dan gangguan akses kemanusiaan.
Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan mengatakan lebih dari 14.000 orang, termasuk anak-anak, telah mengungsi akibat kekerasan dalam beberapa hari terakhir.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)