TRIBUNNEWS.COM, ISRAEL - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terancam dipenjara di negaranya sendiri.
Skandal korupsinya dibuka kembali.
Eks penyidik kepolisian Israel yakin Benjamin Netanyahu bersalah.
Pensiunan Brigadir Jenderal Polisi Eli Assayag adalah sosok mengawasi penyelidikan atas tuduhan suap dan penipuan yang dilakukan Benjamin Netanyahu dari 2018 hingga awal 2019.
Ia pensiun dari kepolisian pada Maret 2021, setelah 36 tahun bertugas.
“Saya pensiun di usia 58 tahun setelah 36 tahun di kepolisian. Saya tak ditunjukkan pintu, namun saya menyadari tak akan dipromosikan, mungkin karena saya menangani kasus yang sensitif,” ujar Assayag, Rabu (4/12/2024), dikutip dari Middle East Monitor.
Meski menolak mengungkapkan detail pertanyaan ke Netanyahu karena peranannya sebagai saksi di pengadilannya, Assayag mengatakan sang PM terkadang malah hilang kesabaran saat interogasi.
Ia menggambarkan bahwa penyelidikan tersebut sebagai salah satu yang paling efisien dan profesional sepanjang karirnya.
“Dalam waktu kurang dari 9 bulan, kami menyelesaikan penyelidikan dan menyerahkan berkasnya ke Kantor Kejaksaan,” tuturnya.
Ia juga menyebutnya sebagai penyelidikan tercepat yang pernah ada dalam kasus kejahatan kerah putih.
Assayag juga mengatakan pemikirannya terhadap bersalah atau tidaknya Netanyahu.
“Jika saya tidak yakin, saya tak akan merekomendasikan (dakwaan),” ucapnya.
Pada November 2019, Jaksa Agung saat itu Avichai Mandolblit, mengajukan tuntutan resmi terhadap Netanyahu.
Ia menuduh pemimpin pemerintahan Israel tersebut melakukan korupsi dalam tiga kasus.
Netanyahu akan memberikan kesaksian di Pengadilan Distrik Tel Aviv, Selasa (10/12/2024), untuk membela diri atas tuduhan korupsinya.
Kubu Benjamin Netanyahu Sebut Kerusuhan Sipil Bisa Terjadi
Menteri Kerjasama Regional David Amsalem dari partai Likud Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memperingatkan tentang konsekuensi jika Benjamin Netanyahu ditahan atas perintah pengadilan.
Kata dia itu dapat menyebabkan kerusuhan sipil.
Dalam wawancara Radio Galey Israel hari Rabu (4/12/2024), Amsalem mengungkapkan kekhawatirannya tentang seruan yang terus berlanjut untuk memenjarakan Netanyahu .
"Mereka terus menerus mengungkit hal tak masuk akal ini setiap minggu," katanya.
"Sesuatu yang gila tengah terjadi di sini," mengacu pada petisi terbaru ke Pengadilan Tinggi yang menyarankan agar Netanyahu diekstradisi karena dugaan pelanggaran yang terkait dengan persidangannya yang sedang berlangsung.
"Ini adalah kudeta yang sangat hebat. Menurut pendapat saya, ini akan mengarah pada perang saudara, bukan dengan senjata pada awalnya, tetapi konfrontasi fisik antar warga. Ini bisa meningkat menjadi lebih buruk," tegas Amsalem dikutip dari JPost.
Petisi tersebut, yang ditinjau awal bulan ini oleh Jaksa Agung dan Pengadilan Tinggi, menyatakan bahwa pemecatan Netanyahu diperlukan.
Namun, penasihat hukum tidak menemukan alasan kuat untuk menindaklanjuti permintaan tersebut.
"Kami tidak akan membiarkan ini terjadi," kata Amsalem.
Menteri tersebut melanjutkan spekulasinya mengenai reaksi publik jika keputusan untuk menahan Netanyahu diambil, dengan mengisyaratkan tindakan pembangkangan sipil.
"Bayangkan orang-orang menghalangi pengadilan atau mencegah hakim masuk. Beginilah demokrasi runtuh," ia memperingatkan.
Ketika ditanya apakah Amsalem dapat meramalkan skenario di mana pasukan keamanan menahan Netanyahu, ia menyamakannya dengan insiden baru-baru ini yang melibatkan pejabat polisi.
"Apakah ada yang membayangkan orang-orang bertopeng menyeret Kepala Polisi Israel Kobi Shabtai ke tahanan di sudut jalan? Itu tidak terbayangkan. Namun, inilah kenyataan yang mereka sarankan untuk Netanyahu," jelasnya.
Benjamin Netanyahu yang saat ini sedang diadili atas tuduhan korupsi, telah berulang kali membantah melakukan kesalahan, dan menganggap kasus-kasus yang menjeratnya bermotif politik.
Para pendukungnya menyuarakan sentimen ini, yang sering kali mendukung klaim tentang tindakan pengadilan yang melampaui batas.