Pengerahan tentara bayaran dalam pertempuran di Ukraina juga melemahkan postur Rusia di Suriah. Saat ini memang masih terdapat sejumlah tentara bayaran Rusia di Suriah. "Tetapi mereka tidak berspesialisasi dalam misi tempur, melainkan, misalnya, dalam memantau beberapa fasilitas produksi minyak,” kata Ruslan Suleimanov.
Moskow tidak ingin kehilangan Suriah
Meskipun perang di Ukraina jelas merupakan prioritas Moskow, Rusia tidak akan menyerah terhadap Suriah. "Kremlin tentu saja tidak akan meninggalkan Bashar al-Assad,” kata Suleimanov.
Untuk Rusia misalnya, ada dua lokasi penting. Pangkalan angkatan laut di Tartus mengamankan akses Rusia ke wilayah Mediterania. Dan pangkalan udara Hmeimim, yang memungkinkan Moskow beroperasi di seluruh wilayah Timur Tengah.
Namun Suriah juga penting bagi Kremlin untuk mempertahankan citranya sebagai negara adidaya. Setelah operasi militer Barat yang gagal di Irak dan Libya, Rusia ingin menampilkan diri sebagai jaminan stabilitas di kawasan.
Negosiasi ketimbang mobilisasi
Reaksi awal Rusia terhadap serangan pemberontak di Aleppo mengindikasikan, bahwa Moskow memilih untuk tidak mendelegasikan sumber daya militer tambahan ke Suriah.
Namun, militer Rusia menggencarkan serangan udara. Menurut saluran Telegram Rusia "Rybar", Jenderal Alexander Chaiko, yang pernah memimpin pasukan Rusia di Timur Tengah, juga telah tiba di Suriah.
Pada saat yang sama, Rusia sedang mencari kontak dengan negara-negara lain yang terlibat dalam konflik tersebut, terutama Turki, yang paling diuntungkan dari kemajuan pemberontak. Vladimir Putin berbicara melalui telepon dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan perwakilan dari Rusia, Iran dan Turki dijadwalkan bertemu akhir pekan depan.
"Ada perundingan yang sangat sulit dan menegangkan bagi Kremlin, yang telah menghabiskan begitu banyak tenaga, energi, dan sumber daya untuk Ukraina,” kata orientalis Ruslan Suleimanov. Kini Kremlin juga harus menggunakan sumber daya ini untuk Suriah.
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Jerman