Pemerintah sementara yang baru mengambil alih tidak menunjukkan tanda-tanda mencari konfrontasi dengan Israel.
Namun, ketegangan tetap tinggi, mengingat situasi politik yang masih sangat tidak stabil.
Sementara itu, pasukan AS baru-baru ini meluncurkan serangan udara di Suriah yang menewaskan 12 anggota ISIS.
Serangan ini dilakukan dalam rangka mengganggu dan melemahkan kelompok teroris tersebut.
Pemerintah AS juga berencana untuk terus beroperasi di Suriah guna menjaga keamanan regional dan mencegah kebangkitan ISIS.
Masa Depan Suriah
Sementara itu, Uni Eropa (UE) telah memulai pembicaraan dengan pemimpin baru Suriah.
Eropa berharap dapat membantu transisi negara tersebut, dengan beberapa pejabat menekankan perlunya mengurangi pengaruh Rusia di Suriah.
Rusia, yang sebelumnya mendukung al-Assad dengan serangan udara dan senjata, masih memiliki pangkalan militer di negara tersebut, meskipun masa depannya semakin kabur.
Dikutip dari BBC, dalam sebuah langkah yang mengejutkan, diplomat Inggris baru-baru ini melakukan pembicaraan dengan pemimpin kelompok pemberontak Suriah, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), di ibu kota Suriah, Damaskus.
Pertemuan ini terjadi lebih dari seminggu setelah penggulingan Presiden Bashar al-Assad, menandai momen penting dalam dinamika politik Suriah.
Pertemuan tersebut melibatkan Ahmad al-Sharaa, yang sebelumnya dikenal sebagai Mohammed al-Julani, sebagai pemimpin HTS.
Gambar-gambar yang dibagikan di media sosial oleh departemen operasi militer HTS menunjukkan al-Sharaa berdiskusi dengan pejabat senior Inggris, termasuk Ann Snow, yang merupakan perwakilan khusus Inggris untuk Suriah.
Kehadiran pejabat tinggi Inggris dalam pertemuan ini menunjukkan komitmen negara tersebut untuk terlibat langsung dalam situasi yang berkembang di Suriah.
Menurut pernyataan resmi dari HTS, delegasi yang terlibat dalam pertemuan ini membahas berbagai perkembangan terkini di Suriah.
Namun, rincian spesifik mengenai diskusi yang dilakukan belum diungkapkan secara terbuka.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)