Organisasi hak-hak anak, Defense for Children International, mengatakan pada bulan Desember bahwa jenazah 39 anak Palestina yang dibunuh oleh pasukan Israel telah disembunyikan dari keluarga mereka sejak tahun 2016.
Angka tersebut mencapai 45 jenazah anak-anak yang disita oleh pasukan Israel, tetapi enam dari mereka telah dikembalikan ke keluarga mereka.
“Praktik otoritas Israel dalam menyita dan menahan jenazah warga Palestina merupakan pelanggaran hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia internasional,” kata organisasi tersebut.
“Bagi keluarga, praktik ini sama saja dengan hukuman kolektif yang melanggar hukum humaniter internasional,” tambahnya.
PBB: Dunia Diam Saat Anak-Anak jadi Korban Konflik
PBB mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap meningkatnya jumlah anak-anak yang menjadi korban dalam konflik bersenjata di berbagai belahan dunia.
Virginia Gamba, perwakilan khusus PBB untuk anak-anak dan konflik bersenjata, menyatakan bahwa dunia cenderung diam saat anak-anak, yang seharusnya dilindungi, justru menjadi sasaran kekerasan di zona perang.
Hal ini mencakup wilayah seperti Gaza, Tepi Barat yang diduduki, dan negara-negara lain yang terlibat dalam konflik bersenjata seperti Israel, Sudan, Lebanon, Myanmar, dan Ukraina.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa, Gamba menyoroti bahwa serangan terhadap sekolah dan rumah sakit, serta pembunuhan dan mutilasi anak-anak, menjadi pelanggaran yang semakin umum dalam konflik yang berlangsung.
Dia memperingatkan bahwa serangan udara, serangan roket dan rudal, serta penggunaan senjata peledak di wilayah sipil yang padat penduduknya dapat menyebabkan kerusakan luar biasa, menambah penderitaan anak-anak yang terjebak di dalamnya.
Menurut Gamba, serangan terhadap fasilitas pendidikan dan medis, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, semakin menjadi target.
Ini menunjukkan betapa rentannya anak-anak terhadap ancaman dalam situasi konflik yang berlangsung tanpa henti.
Selain itu, pembunuhan dan kekerasan terhadap anak-anak semakin meningkat, memperburuk kondisi yang sudah sangat sulit.
"Dunia harus mengakui kenyataan ini dan tidak lagi membiarkan penderitaan anak-anak menjadi noda pada hati nurani kolektif kita," kata Gamba.
Dia menegaskan bahwa penderitaan anak-anak di zona konflik adalah tangisan yang seharusnya memicu respons internasional yang lebih kuat dan lebih manusiawi.