Mahkamah Konstitusi (MK) menolak menghapus kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan dalam pertimbangannya hakim konstitusi menegaskan bahwa setiap warga negara "harus beragama atau percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa".
Pakar kebebasan beragama menilai putusan itu bertentangan dengan prinsip kebebasan berkeyakinan.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan mengatakan putusan terbaru MK itu akhirnya melanggengkan pemaksaan agar setiap warga negara wajib menganut salah satu di antara tujuh agama dan kepercayaan yang diakui negara.
Ketujuh agama dan kepercayaan itu adalah Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan penghayat kepercayaan.
Pemaksaan itu disebut melanggar pemenuhan hak dasar warga yang bukan bagian dari tujuh keyakinan tersebut.
"Kalau tidak memilih, dia tidak akan punya KTP, tidak diakui hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Padahal itu substantif. Itu pelanggaran serius terhadap konstitusi," kata Halili ketika dihubungi, Minggu (05/01).
Sebelumnya, dua warga negara menggugat dua pasal di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Admnistrasi Kependudukan yang mengatur soal pemuatan kolom agama di kartu keluarga dan KTP.
Kedua pasal itu dianggap mendiskriminasi orang-orang yang tidak menganut agama atau kepercayaan tertentu.
Akademisi dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Mohammad Iqbal Ahnaf mengatakan tak ada aturan perundang-undangan yang eksplisit melarang orang untuk tidak beragama.
Namun, ada banyak aturan administrasi yang memaksa orang untuk beragama. Mulai dari saat lahir, menempuh pendidikan, menikah, sampai jadi presiden pun harus disumpah "berdasarkan agama dan keyakinannya".
"Kalau tidak beragama, itu dianggap bertentangan dengan ketentuan. Itu menjadi salah satu nalar hakim ketika mengambil keputusan itu," kata Iqbal menyayangkan putusan tersebut.
BBC News Indonesia berbincang dengan dua orang yang menyatakan dirinya agnostik dan ateis soal bagaimana pengadministrasian agama berdampak terhadap hidup mereka.
'Mau nikah saja diribetkan dengan urusan agama'
Aika, 39, terlahir di keluarga yang menganut Kristen. Ayahnya adalah seorang pendeta. Menurut Aika, keluarganya cukup konservatif.