"Layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, asuransi, perbankan, bahkan kredit permodalan untuk usaha itu kan menggunakan catatan sipil," kata Halili.
"Jadi ketika kolom agama menjadi keharusan, kalau dia tidak memilih satu di antara tujuh itu, dia tidak akan punya KTP. Dia tidak akan diakui sebagai warga negara yang berhak mendapatkan layanan dasar. Itu pelanggaran serius," kata Halili.
Absennya keberpihakan negara dalam hal ini, sambung Halili, pada akhirnya membuat orang-orang bersiasat atau berkompromi demi menyelamatkan dirinya sendiri.
Imbasnya, kolom agama menjadi sesuatu yang "dangkal" karena dimaknai sebatas urusan administratif, bukan cerminan spiritualitas seseorang.
"Dalam iklim negara yang demokratis, kolom agama itu tidak relevan. Beragama itu harus lebih substantif. Itu lebih mudah dicapai kalau negara tidak memaksa warganya memilih satu di antara tujuh keyakinan," kata Halili.
Bagaimana asal-usul kolom agama tercantum di KTP?
Akademisi dari Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Samsul Maarif pernah mengatakan bahwa kolom agama baru tercantum di KTP dan kartu keluarga pada 1978.
Saat itu, TAP MPR Nomor 4 Tahun 1978 mewajibkan adanya kolom agama yang harus diisi oleh salah satu dari lima agama yang saat itu diakui oleh pemerintah.
Halili dari Setara Institute menduga kehadiran kolom agama ada kaitannya dengan propaganda anti-komunis rezim Orde Baru usai peristiwa 1965. Jadi menurut Halili, ada unsur politis di baliknya.
"Pada masa itu, yang dianggap secara keberagamaan itu tidak jelas, itu mudah dimasuki oleh ideologi komunis. Itu narasi itu berkembang saat itu sehingga [kolom agama] dianggap sebagai upaya mencegah ekspansi kelompok yang di mata rezim adalah pemicu terjadinya G30S," kata Halili.
Timo Duile dalam penelitiannya berjudul Atheism in Indonesia: State discourses of the past and social practices of the present juga menjelaskan bagaimana rezim Orde Baru mengidentikkan komunisme dan ateisme.
Pelabelan ateis terhadap PKI kemudian menjadi alat propaganda untuk menangkap warga. Kolom agama mempermudah identifikasi.
Pelabelan itu juga berdampak kepada para penganut kepercayaan, yang oleh rezim Orde Baru pernah dianggap sebagai "kebudayaan", bukan agama.
Situasinya membaik bagi para penghayat setelah MK mengabulkan gugatan agar keyakinan mereka diakui oleh negara pada 2017. Penghayat kepercayaan akhirnya bisa menuliskan keyakinan mereka di KTP.
Iqbal Ahnaf dari CRCS mengatakan di satu sisi itu adalah kemajuan bagi para penghayat kepercayaan. Namun di sisi lain, itu juga merupakan bentuk penegasan negara bahwa warga lagi-lagi "harus" beragama.
Akhirnya, mereka yang tidak berafiliasi dengan agama tertentu—seperti agnostik dan ateis—masih tak punya pilihan itu.