TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau resmi mengumumkan pengunduran dirinya pada hari Senin (6/1/2025) setelah hampir satu dekade menjabat.
Pria berusia 53 tahun itu mengatakan ia akan mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri dan juga pemimpin Partai Liberal.
Berbicara kepada wartawan di depan kediamannya di Rideau Cottage, di ibu kota negara, Ottawa, ia mengatakan alasan dirinya mengunduekan diri karena adanya tekanan dari internal.
Menurutnya, pengunduran diri ini merupakan langkah yang tepat untuk masa depan warga Kanada.
"Saya tidak mudah menyerah saat menghadapi pertikaian, terutama pertikaian yang sangat penting bagi partai dan negara kita. Namun, saya melakukan pekerjaan ini karena kepentingan warga Kanada dan kesejahteraan demokrasi" adalah "sesuatu yang saya junjung tinggi," kata Trudeau, dikutip dari AP News.
Dengan keputusan ini, Trudeau mengatakan ini akan memungkinkan partainya memilih pemimpin baru saat ia menangguhkan parlemen hingga Maret karena kebuntuan politik.
"Pagi ini, saya sampaikan kepada gubernur jenderal bahwa kita perlu sidang parlemen baru," katanya.
"Beliau telah mengabulkan permintaan ini, dan DPR sekarang akan ditunda hingga 24 Maret," tambahnya, dikutip dari CBS News.
Ia berharap dengan terpilihnya PM dan pemimpin Partai Liberal baru akan dapat membawa kabar gembira bagi warga Kanada.
"Perdana menteri baru dan pemimpin Partai Liberal akan membawa nilai-nilai dan cita-citanya ke pemilihan berikutnya. Saya gembira melihat proses itu berlangsung dalam beberapa bulan mendatang," katanya, dikutip dari Sky News.
Trudeau berencana untuk tetap menjabat sebagai perdana menteri hingga pemimpin baru Partai Liberal terpilih.
Keputusan Trudeau ini bertepatan dengan meningkatnya kekacauan dalam pemerintahannya yang ditandai dengan kepergian mendadak menteri keuangannya.
Baca juga: PM Kanada Justin Trudeau Diberitakan Segera Umumkan Pengunduran Diri
Setelah menteri keuangan Chrystia Freeland mengundurkan diri, Trudeau mendapat tekanan dari internal.
Partai mengalami perdebatan karena perbedaan pendapat kebijakan, termasuk mengenai cara menangani kemungkinan tarif AS yang dikenakan oleh pemerintahan Donald Trump yang baru.