Bagaimana membayar pinjamannya tersebut, ia tidak terlalu memikirkan hal itu. Ia selalu percaya suatu saat pasti ada jalan. “Tuhan tidak tidur,” imbuhnya.
Ketika bertandang ke rumah orang dengan gangguan jiwa, dulu pernah ada dari dinas sosial, baik dari provinsi maupun kabupaten yang ikut berkali-kali. Namun hanya ikut saja dan tidak ada tindak lanjutnya sampai sekarang. Ia sampai malu kepada keluarga yang mengalami gangguan jiwa mengajak dinas sosial ke sana, namun tidak ada tindak lanjutnya. Tapi dia menganggap itu belum jodoh dan belum waktunya. Bahkan ada oknum dari dinas sosial yang mengatakan bahwa tidak usah membuat yayasan seperti ini, dan disuruh langsung membawa ke RSJ Bangli.
Sebenarnya, ia merawat 29 orang dengan gangguan jiwa di Desa Blahbatuh yang mempunyai 12 banjar. Namun dua orang telah meninggal dan satu orang hilang sehingga masih tersisa 26 orang. Adapun datanya yaitu Banjar Pande terdapat 7 orang dengan gangguan jiwa, Banjar Pokas ada 3 orang, namun sudah meninggal satu orang karena usia sehingga tersisa 2 orang, Banjar Satria 1 orang, Banjar Truna 3 orang, Banjar Tubuh 1 orang, Banjar Darmatiaga 1 orang, Banjar Tusan 2 orang meninggal 1 sehingga tersisa 1 orang, Banjar Kebon 3 orang, Banjar Tengah 7 orang karena hilang 1 orang tingga 6 orang, dan Banjar Antungan 1 orang. Dari semua itu, ada juga yang dititipkan di RSJ Bangli 2 orang karena sering melempari orang dengan batu.
Sebelumnya, ia pernah mengontrak sebuah rumah untuk menampung orang dengan gangguan jiwa agar mudah saat ia berkunjung. Namun setelah satu tahun berjalan, ia tidak mampu membayar kontrakan tersebut sehingga dikembalikan lagi ke rumah masing-masing. Kini, dua orang kakak beradik ia rawat di rumahnya karena yatim piatu. Sementara yang lain ia kunjungi ke rumahnya masing-masing. Ia melakukan kunjungan ke tiga sampai empat lokasi dalam sehari yang dimulai pukul 08.00 Wita.
Sukabawa yang putus sekolah saat SMP mengatakan, orang dengan gangguan jiwa yang ditanganinya disebabkan oleh beberapa faktor. Ada karena tidak bisa melanjutkan sekolah lalu menjadi stres, kena ilmu hitam, sakit hati, dan bisa juga karena keturunan. Kalau dari gen dia merasa agak kesulitan menangani sehingga harus dekat dan akrab. Jika kena ilmu hitam, ia mengatakan hanya kambuh saat hari keramat, semisal Jumat Kliwon.
Bawa Kopi
Bersama Made Sukabawa dan rekannya I Kadek Wirnata, Tribun Bali berkesempatan berkunjung ke rumah Wayan Rata, penderita gangguan jiwa di Banjar Tengah, Desa Blahbatuh, Gianyar. Kondisinya sangat memprihatinkan.
Wayan Rata tinggal di dalam gubuk kecil kira-kira berukuran 2 x 2 meter. Gubuk kecil dengan dinding anyaman bambu yang telah usang tanpa pintu dan hanya ditutup sebidang gorden kumal.
Di dalamnya terdapat sebuah bale, dengan alas tikar dan satu bantal yang kotor berwarna cokelat. Di pojok selatan bale, terlihat tumpukan sampah bungkus rokok, plastik, botol, dan juga gelas bekas kopi yang belum dicuci.
Sampai di sana Sukabawa menyodorkan makanan, kopi, dan rokok yang dibawanya. Sudibawa bertanya, “sudah ngopi?” lalu dijawab, “sudah tadi, kok lama tidak ke sini. Sudah satu minggu tidak datang.” Mendengar jawaban itu, Sudibawa tertawa lalu disambut oleh kakaknya Rata, Wayan Dusun, “Baru tiga hari yang dia lalu datang ke sini, belum ada seminggu.”
Menurut Wayan Dusun, adiknya tersebut telah mengalami gangguan jiwa sejak tiga tahun lalu. Tapi ia tak tahu apa penyebabnya.
“Saya tidak tahu apa penyebabnya. Di rumah tidak ada masalah apa-apa,” kata Dusun.
Setelah Rata mengalami gangguan jiwa, ia dititipkan ke Wayan Dusun yang sudah menikah oleh adik dan juga ibunya. Awalnya hanya bilang menitip sebentar, namun sampai kini ia masih tetap merawatnya. Ia berharap kepada pemerintah agar meringankan beban yang dimilikinya.
“Nggih mangda wenten wantuan napi anggon ngubadin adin tiange (Semoga ada bantuan untuk pengobatan adik saya). Hidup kami susah, hanya mengandalkan anak yang bekerja sebagai buruh bangunan,” kata Dusun dengan suara yang berat mencoba menahan kesedihannya.