Laporan Wartawan Tribunnews.com, Apfia Tioconny Billy
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Biasanya ada saja calon anggota legislatif (caleg) mengalami gangguan psikologi pascapencoblosan karena gagal mendapat jumlah suara mumpuni untuk duduk di parlemen.
Psikolog Klinis dan Hipnoterapis, Liza Marielly Djaprie menyebutkan ada banyak faktor yang bisa menyebabkan caleg menjadi stres misalnya karena ekspektasi yang tidak sesuai dengan realita.
Mereka tidak terima dengan kenyaraan karena sudah banyak material yang dikeluarkan. Sebagai contoh, uang habis untuk biaya pencalonan.
“Kalau banyak faktor yang terlibat ya mungkin ekspektasinya udah tinggi, mungkin juga dia sudah menaruh sekian banyak saham dana disitu mungkin juga, keluar kerjaan, gadai rumah, ada tekanan lain,” ugkap Liza saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (16/4/2019).
Kemudian ada juga penyebab yang bisa datang dari diri sendiri, misalnya memiliki sifat yang tidak bisa legowo, sehingga saat tidak menerima kekalahan akan memancing emosi yang dapat menimbulkan stres.
“Karakter yang bukan legowo, karakter yang perfectionist, yang keras, jadi dia ngerasa gak dapet ya ngamuk lah dia itu,” kata Liza.
Faktor lainnya yang dapat memancing stres pada caleg adalah faktor lingkungan, misalnya si caleg memiliki jiwa yang legowo tapi keluarga terus menyalahkan kekalahannya juga bisa menyebabkan stres.
Baca: Tips Buat Para Caleg untuk Menghadapi Kekalahan di Pileg 2019
“Mungkin dari lingkungan gimana dia bisa menghadapi lingkungan, mungkin ada lingkungannya keras padahal dia santai itu bisa juga, tekanan dari lingkungan,” ucap Liza.
Stres tersebut ditunjukan dengan respon yang berbeda-beda ada yang menjadi insomnia atau susah tidur, gangguan emosi, hingga kekerasan pada fisik sendiri.
Permasalahan stres ini ada yang bisa langsung terlihat ada juga yang ditunjukan setelah beberapa bulan karena pada awal-awal masih banyak mendapat perhatian atau masih optimis kalau dia masih akan menang.
“Karena sifatnya psikologis kejiwaan jadi setiap orang itu punya mekanisme pertahanan berbeda-beda, sama dengan kayak ada tsunami atau kerampokan ada orang yang langsung saat itu juga keluar, jadi response delay biasanya sekitar dua bulan tiga bulan,” ungkap Liza.