Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman menyebutkan jika ibadah saat haji memiliki kerawanan terjadinya potensi Heat Illnes.
Heat Illnes merupakan gangguan klinis yang disebabkan peningkatan paparan panas. Namun tidak diimbangi dengan pengeluaran panas oleh tubuh. Heat Illnes sendiri terbagi dua yaitu Heat Stroke dan Heat Exhaustion.
Heat Exhaustion merupakan kelelahan karena suhu panas. Orang yang mengalami ini akan mengeluarkan keringat secara terus menerus. Jika tidak mendapatkan penanganan bisa alami kekurangan cairan.
Sedangkan Heat Stroke merupakan peningkatan suhu tubu yang sangat tinggi akibat paparan cuaca panas tadi. Menurut Dicky, ancaman Heat Illnes pada jamaah calon haji jauh lebih tinggi.
"Khususnya karena potensi temperatur saat dilakukan ibadah haji saat itu, ada di kisaran 40 derajat atau 45 derajat rata-rata sampai 55 derajat celcius," ungkapnya pada Tribunnews, Senin (20/6/2022).
Baca juga: Jemaah Haji Perlu Waspadai Serangan Heat Stroke Akibat Cuaca Panas di Arab Saudi
Suhu dalam kisaran tersebut tentu saja dapat dikatakan ekstrim sebetulnya. Dan dampaknya akan sangat serius jika tidak dilakukan mitigasi.
Heat Illnes didapati setidaknya berisiko, seperempat jamaah yang masuk rumah sakit saat penyelenggaraan haji. Situasi ini yang membuat semakin rawan.
Apa lagi dalam masa ritual ibadah haji orang-orang melakukan aktivitas langsung dengan paparan matahari. Kemudian paparan panas juga dirasakan saat berada di tenda-tenda, dan saat kepadatan.
Namun, Heat Illnes kata Dicky sebenarnya bisa diatasi dengan cara sederhana. Yaitu membangun kesadaran untuk mencukupi cairan air minum.
Setidaknya setiap 15 menit atau 30 menit sekali, para jemaah haji harus mengonsumsi cairan. Sayangnya hal ini banyak terlupakan.
"Ini harus diingatkan para jamaah haji. Sekali lagi Heat Illnes bisa di diminimalisir dengan kecukupan minum. Baik dari air zam zam atau pun air mineral lainnya," pungkas Dicky.