TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa tahun terakhir Indonesia dihebohkan dengan adanya kasus dermatitis atopic pada anak-anak.
Prevalensi dermatitis atopik mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Penelitian oleh Soegiarto et al, tahun 2019, melaporkan bahwa morbiditas penyakit alergi pada anak sekolah di kota metropolitan di Indonesia memiliki pola yang sama dengan negara berkembang lainnya.
Penelitian melibatkan 499 anak dan remaja dari sekolah dan universitas di 5 kota.
Dilaporkan 278 subjek setidaknya memiliki satu manifestasi penyakit alergi, dimana kasus dermatitis atopic sebesar 1,8 persen.
Urtikaria dan rhinitis alergi merupakan penyakit atopik yang paling sering muncul, dengan riwayat keluarga atopi positif sebesar 60,79%.
Baca juga: 6 Manfaat Buah Pepaya: Atasi Peradangan hingga Jaga Kulit Tetap Awet Muda
Dermatitis atopik dapat menyerang segala usia mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua di umur emasnya.
Namun, sebagian orang masih menganggap sepele kondisi dermatitis atopik.
Meski rasa gatal sudah tak tertahankan dan permukaan kulit sudah berubah total, tetap saja ada beberapa orang enggan untuk meminta bantuan kepada dokter spesialis kulit.
Noviana Supit, Direktur ERHA, menilai hal itu karena kurangnya pengetahuan mengenai penyakit kulit.
Padahal jika dibiarkan, dermatitis atopic bukan hanya mengakibatkan gatal, kulit bersisik, hingga infeksi, tapi juga demam, asma, hingga mengalami masalah tidur.
Dan mereka yang tak ingin ke dokter spesialis kulit, merasa penyakit yang dideritanya bisa sembuh dengan sendirinya.
Masalah selanjutnya, kenapa orang enggan ke dokter spesialis kulit, karena kondisi pandemi.
Sebagian orang masih takut ke rumah sakit atau ke dokter kulit karena takut terinfeksi covid-19.