Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO resmi mengeluarkan “Diseases Outbreak News” tentang KLB Polio di Indonesia.
Diseases Outbreak News ini diberi judul “Circulating vaccine-derived poliovirus type 2 (cVDPV2) – Indonesia”.
Di dalamnya, dituliskan secara rinci apa yang terjadi di Pidie Aceh.
Baca juga: IDAI Ungkap Beberapa Alasan Orang Tua di Kabupaten Pidie Aceh Enggan Imunisasi Polio Anaknya
Serta, tindakan apa yang sudah dilakukan sejauh ini.
"Keadaan dinyatakan sudah bersirkulasi di masyarakat, makanya ada “c” di depan VDVP2 yaitu virus penyebab KLB ini," ungkap Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI dan Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama pada keterangan resmi, Rabu (21/12/2022).
Menurut Prof Tjandra, ada dua alasan kenapa disebut sudah bersirkulasi dan menular di masyarakat.
Pertama karena ada beberapa kasus yang sample yang diperiksa ternyata saling berhubungan secara genetik (“genetically related isolates”).
Kedua, ternyata hasil dari laboratorium sekuensing dari Biofarma menunjukkan perubahan 25 nukloetida untuk pasien dengan kasus lumpuh layu (“AFP - acute flaccid paralysis”).
Serta adanya perubahan nukleotida 25 dan 26 26 pada kasus yang tidak bergejala atau asimtomatik.
Baca juga: 33 Ribu Anak Bireuen Sudah Diimuniasi Cegah Polio Dalam Tiga Hari
Di sisi lain, Prof Tjandra menyebutkan Polio perlu segera ditindak lanjuti, setidaknya melalui diplomasi kesehatan internasional.
Sesuai adalah anjuran WHO yang tertulis dalam “WHO advice” di dalam dokumen tersebut.
Berdasarkan rekomendasi dalam pernyataan Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), ada dua langkah yang perlu dilakukan.
Pertama, menyatakan KLB nya sebagai masalah kegawatan kesehatan nasional, “national public health emergency”.
Kedua, menganjurkan penduduk kita dan orang asing yang lama tinggal di daerah tersebut untuk mendapatkan vaksin polio injeksi (“IPV”) 4 minggu sampai 12 bulan sebelum bepergian ke luar negeri.
"Ke dua hal ini tentu punya dampak amat luas kalau memang akan diberlakukan, karena itu sejak sekarang harus dicari jalan keluar terbaiknya," papar Prof Tjandra lagi.
Prof Tjandra pun mengingatkan berbagai kemungkinan dampaknya perlu diantisipasi.
Serta, potensi yang merugikan perlu dicegah agar jangan sampai terjadi.
"Artinya penanganan epidemiologik di lapangan perlu berjalan bersama diplomasi kesehatan internasional," pungkasnya.