Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Ketua Pengurus Pusat Indonesian Thyroid Association (PP InaTA), Dr dr Tjokorda Gde Dalem Pemayun Sp.PD-KEMD FINASIM mengatakan, masih ada kebutuhan yang belum terpenuhi bagi pasien tiroid ini.
Ia mencontohkan, yang belum terpenuhi untuk diagnosis, terapi dan evaluasi pasien gangguan fungsi tiroid di Indonesia masih belum optimal.
"Dengan adanya kolaborasi ini, yang bermitra dengan Merck, diharapkan pelayanan tiroid terpadu ke masyarakat akan bisa menjadi lebih optimal di masa depan," ungkapnya dalam acara media briefing di Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Tiroid merupakan kelenjar penting dalam tubuh manusia yang berperan dalam mengatur metabolisme dan kesehatan tubuh.
Hormon tiroid sangat diperlukan untuk membantu tubuh menggunakan energi agar tetap hangat, serta membuat otak, jantung, otot dan organ lainnya bekerja sebagaimana mestinya.
Baca juga: Gangguan Tiroid Tidak Selalu Berisiko Kanker, Ketahui Faktor Risikonya
Namun sayangnya berdasarkan data tahun 2022, prevalensi hipotiroid mencapai 12,4 juta orang dengan tingkat penanganan masih sangat rendah yaitu 1,9 persen.
Padahal, dalam beberapa kasus hipotiroid dapat diturunkan dari ibu ke anaknya yaitu hipotiroid Kongenital pada bayi baru lahir.
Kelainan ini dapat menyebabkan masalah kesehatan serius serta disabilitas intelektual.
Sedangkan prevalensi hipertiroid sebanyak 13,2 juta dengan tingkat penanganan yang juga sangat rendah, hanya 6,2 persen.
Oleh karena itu, peningkatan kapabilitas tenaga kesehatan, khususnya dokter di semua multidisiplin ilmu tentang skrining dan diagnosis gangguan tiroid sedini mungkin.
Hal ini sangat penting untuk mencegah komplikasi masalah kesehatan serius lebih lanjut.
Serta memastikan layanan kesehatan berkualitas terkait penanganan gangguan tiroid dapat diberikan bagi seluruh masyarakat.
Lewat kolaborasi melalui Program RAISE Tiroid nantinya akan menjangkau sekitar 52.000 tenaga kesehatan serta menyelenggarakan skrining pada 3 juta populasi dewasa berisiko tinggi di 7.000 fasilitas kesehatan.
Dengan demikian diharapkan pada tahun 2030 terapi penanganan hipotiroid dapat meningkat menjadi 5,5 kali lipat atau sebanyak 11 persen dari sebelumnya yaitu 1,9 persen pada 2022.
Lalu hipertiroid menjadi 2,5 kali lipat sebanyak 15 persen dari sebelumnya 6,2 persen pada tahun 2022.