Budi menyebut pihaknya menemukan ada sejumlah modus praktik bullying atau perundungan terhadap para calon dokter spesialis ini.
Pertama, dokter junior peserta didik dimanfaatkan sebagai asisten pribadi, sekretaris hingga pembantu.
"Sebagai pembantu pribadi lah, nganterin laundry, bayarin laundry, nganterin anak, ngurusin
parkir, ambilin ini itu," ucap Budi.
"Kemudian lagi ada (seperti) oh kurang sendok plastik, sudah jam 12 malam, mesti cari sendok plastik 200 (buah) di jam 12 malam karena ada makan makan tempat senior," papar Budi.
Bahkan Budi juga menemukan kasus ada grup khusus yang isinya tidak berkaitan dengan pendidikan dokter, tetapi berisi perintah-perintah senior ke junior.
"Kalau satu dua menit nggak dijawab, kemudian dicaci maki," ungkap Budi.
Modus kedua, para dokter senior memanfaatkan dokter junior untuk mengerjakan tugas seniornya seperti jurnal dan lainnya.
Padahal tugas tersebut tidak ada hubungannya dengan spesialisasi si dokter junior.
"Kalau melanggar etik penelitian junior juga disuruh. Akibatnya, kasihan juga juniornya. Harusnya belajar memperdalam spesialisasi yang diinginkan, malah disuruh sebagai asisten pribadi," kata Budi lagi.
Perundungan bahkan sampai dari sisi keuangan.
Baca juga: Menkes Tepis Isu UU Kesehatan Bikin Dokter Asing Bisa Buka Praktik di RI
Menurut Budi, cukup banyak junior diminta mengumpulkan uang jutaan, puluhan bahkan ratusan.
Uang tersebut biasanya digunakan untuk menyiapkan rumah untuk kumpul senior.
"Nomor tiga ini yang membuat saya terkejut karena berkaitan dengan uang. Misal buat siapin rumah, buat acara-acara senior, kontrak rumahnya setahun Rp 50 juta, (bayar) bagi rata dengan juniornya,"imbuhnya.
Selain itu, ada juga ditemukan junior yang diminta patungan membelikan makanan senior hampir setiap jam praktik malam.