Secara sederhana, staging kanker payudara dapat digambarkan sebagai berikut:
• Stadium 1: Ukuran tumor masih di bawah 2 centimeter dan belum ada persebaran ke kelenjar getah bening. Masih dikategorikan sebagai stadium awal. Stadium 1 memiliki subkategori 1A dan 1B.
• Stadium 2: Ukuran tumor 2-5 centimeter, sudah ada persebaran ke kelenjar bening ketiak. Sama seperti stadium 1, pada stadium 2 juga dikenal subkategori 2A dan 2B.
• Stadium 3: Ukuran tumor lebih dari 5 centimeter, sudah ada persebaran ke kelenjar bening ketiak dan/atau leher. Stadium 3 memiliki tiga subkategori yakni 3A, 3B, dan 3C.
• Stadium 4: Ukuran tumor berapapun, sudah ada persebaran ke organ jauh. Paling sering ke tulang, hati, atau paru, dan yang paling jarang adalah persebaran ke otak.
Staging kanker payudara erat kaitannya dengan survival rate atau harapan hidup pasien kanker payudara.
Makin rendah stadium kanker saat ditemukan, makin besar peluang keberhasilan terapi dan harapan hidup pasien saat menjalani terapi.
"Stadium 1 angka harapan hidupnya bisa sampai di atas 90 persen, kalau stadium 4 sudah makin berkurang hingga 20 persen," jelas dr Rachmawati.
Penanganan Kanker Payudara
Perkembangan teknologi kedokteran saat ini telah memberikan banyak pilihan terapi untuk kanker payudara. Misalnya, radical mastectomy atau pengangkatan payudara secara keseluruhan sudah semakin ditinggalkan dan beralih ke breast conserving surgery.
Artinya, operasi cukup dilakukan dengan mengangkat benjolan tumor saja dan tidak menghilangkan jaringan payudara yang sehat.
“Breast conserving surgery itu dengan pengangkatan benjolan sampai bersih, kemudian pembersihan kelenjar di ketiak,” kata dr Rachmawati.
Breast conserving surgery juga dapat dilakukan pada jenis kanker payudara yang sifatnya agresif, bahkan yang berukuran di atas 5 centimeter.
Pada kondisi ini, umumnya dokter akan memberikan kemoterapi sebelum pembedahan, yang dikenal sebagai neo adjuvant chemotherapy. Tujuannya agar ukuran tumor mengecil ketika dioperasi.
“Ukuran tumor akan menjadi lebih kecil. Misalnya yang tadinya 5 centimeter, setelah kita kemoterapi mengecil menjadi 1-2 centimeter. Reponsnya harus lebih dari 50 persen,” papar dr Rachmawati.
Namun demikian, prosedur breast conserving surgery mengharuskan adanya pemeriksaan patologi yang disebut pemeriksaan ‘potong beku’ atau frozen section. Dalam bahasa belanda, disebut juga vries coupe (VC).
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa apakah batas sayatan pada jaringan yang diambil sudah benar-benar bebas dari sel-sel kanker.
Pemeriksaan inilah yang umumnya baru dimiliki oleh rumah sakit besar, sehingga tidak semua center bisa melakukan breast conserving surgery.
“Kalau misalnya rumah sakit di daerah belum ada pemeriksaan VC, ya mau nggak mau berapapun ukuran tumornya kalau tidak ada pemeriksaan VC, ya nggak berani melakukan breast conserving surgery,” tutur dr Rachmawati.
Selain itu, setelah dilakukan breast conserving surgery, dibutuhkan fasilitas radioterapi untuk membersihkan sel kanker setelah operasi.
Biaya Penanganan Kanker Payudara
Menyinggung tentang biaya penanganan kanker payudara, dr Rachmawati menyebutnya sangat variatif tergantung jenis terapinya, yang artinya tergantung juga pada banyak faktor termasuk staging saat kanker ditemukan.
Dia mengatakan, semakin dini kanker ditemukan, makin murah biaya pengobatan yang bisa di-cover BPJS Kesehatan dan juga asuransi swasta. Kanker payudara yang terdeteksi pada stadium awal memiliki angka kesembuhan yang tinggi.
“Kalau sudah stadium lanjut, ibarat perang itu musuhnya sudah licik banget. Untuk mengatasi liciknya musuh itu, kita butuh banyak senjata,” jelas dr Rachmawati.
Salah satu pengembangan terapi sebagai ‘senjata’ untuk melawan kanker yang tersedia untuk kanker payudara adalah targeted therapy.
Berbeda dengan kemoterapi biasa yang menyerang semua sel dengan pertumbuhan cepat, dengan efek samping yang ‘menyiksa’, targeted therapy sesuai namanya hanya akan menyerang sel kanker yang ditargetkan. Efek sampingnya jauh lebih ringan dibanding kemoterapi biasa, namun tentunya membutuhkan biaya yang lebih mahal.
Terapi kanker payudara yang saat ini sedang dikembangkan adalah imunoterapi yang biayanya mencapai ratusan juta rupiah. Sesuai namanya, imunoterapi diberikan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan kanker.
Biasanya diberikan pada kanker payudara subtipe triple negative yang memang tidak memiliki target terapi yang spesifik.
“Kalau tipe hormonal ada targetnya, ada reseptornya, estrogen atau progesteron. HER2 positive juga (ada targetnya). Kalau semua negatif (triple negative), ya nggak ada target, berarti kita meningkatkan daya tahan tubuh dengan imunoterapi,” jelas dr Rachmawati.
“Itu tipe paling ‘bandel’, ibaratnya sudah nggak tahu lagi mau dikasih apa. Itu obat-obatnya aduh luar biasa mahalnya,” tegasnya.
Perlunya Deteksi Dini Kanker Payudara
Salah satu upaya mencegah dampak buruk kanker payudara adalah dengan menemukannya pada staging sedini mungkin.
Cara paling mudah yang bisa dilakukan adalah dengan SADARI atau pemeriksaan payudara sendiri. Langkah-langkahnya sebagaimana dipaparkan dr Intan adalah sebagai berikut:
• Berdiri tegak di depan cermin dengan lengan menjuntai ke bawah. Perhatikan apakah ada perubahan bentuk atau ukuran payudara, kulit yang mengkerut atau terlihat seperti kulit jeruk, atau puting yang masuk ke dalam atau terlihat berbeda dari biasanya.
• Letakkan kedua tangan di atas kepala, tekuk siku dan posisikan tangan di belakang kepala. Dorong siku ke depan, cermati payudara. Kemudian dorong siku ke belakaang dan cermati lagi apakah ada perubahan bentuk atau ukuran payudara. Otot dada dengan sendirinya berkontraksi saat anda melakukan gerakan ini
• Tempatkan kedua tangan di pinggang. Condongkan bahu ke depan sehingga payudara menggantung & dorong kedua siku ke depan, lalu kencangkan (kontraksikan) otot dada anda. Perhatikan apakah ada benjolan.
• Angkat tangan kiri ke atas & tekuk siku sehingga tangan kiri memegang bagian atas punggung
• Periksa payudara kiri dengan meraba seluruh area payudara dari atas hingga ke bawah. Gunakan tiga jari utama yaitu telunjuk, tengah, dan jari manis. Raba payudara dengan gerakan melingkar mulai dari luar dekat ketiak hingga ke tengah putting dan sebaliknya serta dari atas ke bawah (vertikal). Rasakan apakah ada benjolan atau perubahan tekstur pada payudara yang sebelumnya tak pernah ada.
• Pencet puting susu perlahan dengan menggunakan ibu jari & telunjuk kemudian periksa apakah ada cairan yang keluar dari puting. Ulangi langkah yang sama untuk payudara satunya. Selain area payudara, jangan lupa untuk memeriksa area ketiak.
• Pemeriksaan diatas juga bisa dilakukan pada posisi berbaring dimana letakkan bantal dibawah punggung (sisi payudara yang akan diperiksa). Angkat lengan kiri ke atas dan cermati payudara kiri menggunakan tiga pola gerakan sebelumnya. Angkat lengan kanan ke atas, dan lakukan pemeriksaan yang sama pada payudara kanan
• Pada setiap gerakan SADARI, pastikan semua batas payudara teraba
o batas atas: dua jari di bawah tulang selangka
o batas bawah: garis melingkar payudara
o batas tengah: garis tengah tubuh
o batas paling luar: pertengahan ketiak
• Jika menemukan perubahan pada payudara atau gejala yang mencurigakan, segera konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan penanganan yang tepat.
Namun demikian, penting dicatat bahwa dalam banyak kasus, kanker payudara pada stadium awal, kerap dapat tidak bergejala sama sekali. Ketika ukuran sel kanker masih di bawah 2 centimeter, benjolan bahkan tidak bisa diraba dengan mudah.
Terlebih jika lokasi tumornya cukup dalam, sedangkan ukuran payudara relatif besar. Pada kondisi semacam ini, peluang untuk tidak terdeteksi saat melakukan pemeriksaan payudara sendiri, relatif tinggi.
Oleh karenanya, dr Rachmawati juga menyarankan pemeriksaan USG pada perempuan ketika memasuki usia 20-an tahun atau saat pubertas, yakni saat payudaranya mulai tumbuh.
Berdasarkan pengalamannya saat praktik, dr Rachmawati menyebut tumor berukuran 5 milimeter (0,5 centimeter) sekalipun sudah dapat dideteksi dengan USG. Pemeriksaan USG, menurutnya juga sensitif mendeteksi kista payudara meski ukurannya baru 1-2 milimeter.
Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan adalah mamografi, yang disarankan untuk perempuan usia 40 tahun ke atas ketika payudara sudah lebih kendor.
Pemeriksaan ini juga cukup sensitif untuk mendeteksi mikrokalsifikasi atau pengapuran di jaringan payudara. Namun, mamografi tidak dianjurkan pada perempuan di bawah usia 40-an tahun ketika jaringan payudaranya masih padat.
“Tujuannya (mamografi) kan untuk melihat titik-titik. Kalau payudaranya tebal, masih kencang dan padat, itu putih semua kelihatannya, jadi nggak akan kelihatan mikroklasifikasi yang merupakan tanda pre-cancer,” jelasnya.
Penggunaan implan payudara sedikit-banyak juga berpengaruh pada pemeriksaan berbagai metode deteksi kanker payudara, karena implan yang digunakan dapat menekan jaringan payudara.
Pada perempuan yang memakai implan payudara, umumnya dibutuhkan pemeriksaan MRI payudara untuk mendeteksi lebih awal kanker payudara.
Faktor Risiko yang Perlu Diwaspadai
Terkait faktor risiko, dr Intan menyebut 5-10 persen kanker payudara berhubungan dengan mutasi gen yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam sebuah keluarga.
Karenanya, adanya riwayat kanker payudara pada keluarga terutama pada garis pertama (first line) perlu diwaspadai sebagai faktor risiko.
Demikian juga dengan riwayat kanker ovarium, karena berbagai penelitian menunjukkan adanya kaitan erat antara jenis kanker ini dengan risiko kanker payudara.
Menurut dr Intan, faktor risiko kanker payudara dapat dikelompokkan menjadi dua:
Faktor risiko yang tidak bisa diubah:
• Wanita berusia 50 tahun ke atas
• Memiliki riwayat pribadi atau keluarga yang mengidap kanker payudara
• Memiliki mutasi yang diwariskan pada gen BRCA1 dan BRCA2
• Memiliki jaringan payudara yang padat
Faktor risiko yang bisa diubah:
• Wanita yang tidak aktif secara fisik
• Mengalami kelebihan berat badan atau obesitas setelah menopause
• Minum alkohol
• Tidak memiliki anak atau memiliki anak pertama setelah usisa 30 tahun
• Melakukan terapi hormon yang menggabungkan estrogen dan progesteron untuk mengatasi gejala menopause.
Anggapan bahwa kebiasaan mengonsumsi sayap ayam dapat memicu kanker payudara kerap dipandang sebagai mitos karena belum ada penelitian ilmiah yang secara konklusif membuktikan kebenarannya. Namun di sisi lain, konsumsi junk food semacam itu memang tidak dianjurkan.
“Bahan baku hormon estrogen itu dari kolesterol. Kalau kita rekomendasikan ke pasien untuk preventif, ya makanan dijaga betul, kurangi asupan lemak,” saran dr Rachmawati.
Demikian juga dengan anggapan bahwa konsumsi produk kedelai bisa meningkatkan risiko kanker payudara.
Ada banyak pandangan terkait hal ini, namun dr Rachmawati meyakini bahwa selama porsinya masih dalam batas wajar, kandungan fitoesterogen dalam kedelai justru memberikan efek protektif.
Menurutnya, sifat fitoesterogen dalam kedelai berbeda dengan hormon esterogen alami yang dihasilkan oleh tubuh manusia yang memang berhubungan dengan risiko tipe kanker payudara tertentu.
Ditegaskan oleh dr Rachmawati, hingga saat ini penyebab pasti kanker payudara sebenarnya belum diketahui dan diyakini sebagai akumulasi dari berbagai faktor risiko.
Karenanya, bukan hal yang mustahil jika kanker payudara terkadang tetap bisa muncul pada perempuan yang kelihatannya memiliki gaya hidup maupun pola makan yang sehat, tidak merokok, dan rajin olahraga.
Namun bukan berarti tidak perlu melakukan apapun untuk mencegah kanker payudara, sebab yang hidup sehat saja bisa kena, apalagi yang tidak sehat.