“Walaupun di sisi lain, BPJS juga harus berbenah. Seperti masalah obat yang sering kosong. Pasien harus kelimpungan mencari obat sendiri ke RS-RS atau apotek-apotek. Juga klasifikasi penyakit yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan juga harus diperjelas. Padahal kutil ini mengganggu kesehatan tapi dianggap estetika,” harap dia.
Hal senada juga dirasakan ibu rumah tangga Yana (63).
Ia secara mandiri membayar iuran BPJS Kesehatan.
Setiap bulannya, dia harus membayar sekitar Rp 200.000 per bulan untuk 4 anggota keluarga, termasuk ibunya.
Saat ibunya jatuh sakit pada akhir tahun lalu, BPJS Kesehatan menjadi sangat bermanfaat.
Yana yang tinggal di Jakarta mempercayakan semua pengobatan yang didapat ibunya kepada BPJS Kesehatan.
“Jauh dari orang tua tapi ada BPJS Kesehatan jadi lebih tenang. Tidak ada kekhawatiran soal biaya, karena sakit yang diderita ibu masuk penyakit yang dibiayai BPJS. Ini jadi bentuk rasa sayang dan perhatian kepada ibu di kampung,” terang Yana.
Yana sudah berpisah dan memutuskan merantau dengan lebih dari 30 tahunan lalu.
Segala kebutuhan ibu di kampung selalu jadi perhatian utamanya termasuk memberikan perlindungan kesehatan.
Yana sering menggunakan BPJS untuk perawatan tulang dan sendi yang mulai dirasakannya.
Setiap bulan dirinya harus kontrol dan meminta obat di faskes terdekat.
"Dari awal ada (BPJS) semangat punya, karena persiapan sewaktu-waktu," ungkap Yana.
Kesadaran memberikan manfaat bukan hanya diri sendiri melainkan orang lain menjadi alasan Ida dan Yana setia membayar iuran BPJS.
Makna gotong royong inilah yang terus dikampanyekan BPJS Kesehatan untuk memperbesar lagi cakupan kepesertaan program JKN di satu dekade kehadirannya dan masa-masa mendatang.