Keempat, ketidaksesuaian porsi makanan dengan kebutuhan anak.
Porsi makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan energi dan nutrisi anak pada berbagai jenjang usia (TK, SD, SMP) dapat menyebabkan kurangnya asupan gizi atau bahkan gizi berlebih pada beberapa anak.
Sehingga, porsi makanan harus disesuaikan dengan usia dan aktivitas anak.
Ahli gizi dapat membantu menyusun takaran yang tepat untuk setiap kelompok umur.
Kelima, kurangnya edukasi gizi bagi anak dan orang tua.
Baca juga: Wamen Didit Herdiawan Ingin Produk Perikanan Masuk ke Program Makan Bergizi Gratis
Jika anak dan orang tua tidak memahami pentingnya makanan bergizi, anak mungkin enggan konsumsi makanan sehat yang disediakan.
Program ini, kata Dicky harus diiringi dengan edukasi gizi baik di sekolah maupun di rumah, melibatkan guru, orang tua, dan tenaga kesehatan.
Misalnya, kampanye atau pelatihan gizi untuk orang tua dapat membantu memastikan keberlanjutan asupan makanan bergizi di luar sekolah.
Keenam, keterbatasan anggaran. Pembiayaan yang tidak mencukupi bisa membatasi jumlah anak yang mendapatkan makanan atau menurunkan kualitas makanan yang disediakan.
"Program ini harus memiliki anggaran yang jelas dan berkelanjutan. Kerjasama dengan pihak swasta, LSM, atau donor internasional dapat membantu menutupi kekurangan anggaran," saran Dicky.
Ketujuh, penerimaan sosial dan budaya.
Tidak semua keluarga atau komunitas mungkin menerima jenis makanan tertentu karena alasan budaya atau agama.
Misalnya, makanan yang tidak sesuai dengan preferensi atau keyakinan lokal bisa ditolak oleh anak-anak dan keluarganya.
Penyusunan menu harus mempertimbangkan keanekaragaman budaya dan agama di masing-masing daerah.