"Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah 1 anggota dari seluruh anggota MPR, yaitu 357 anggota MPR. Apabila usulan tidak mendapat persetujuan dari minimal 50 persen ditambah 1 anggota MPR maka usulan ditolak dan usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa keanggotaan yang sama. Selain itu, usul perubahan tidak dapat diajukan dalam 6 bulan sebelum berakhirnya masa keanggotaan MPR. Artinya batas waktu terakhir adalah 31 Maret 2024," terang Bamsoet.
Arya Fernandes mewakili CSIS memaparkan, wacana perpanjangan masa jabatan presiden melalui penundaan Pemilu telah mengingkari spirit dan agenda reformasi 1998. Selain desentralisasi, pelaksanaan pemilihan umum yang demokratis; serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme; spirit lain reformasi adalah pembatasan kekuasaan presiden.
Wacana tersebut juga menunjukan lemahnya komitmen kebangsaan terhadap demokrasi. Mengunci peluang terjadinya suksesi kepemimpinan nasional secara berkala dan tertib, serta menutup peluang kompetisi politik dalam pemilihan presiden dan legislatif. Sehingga berpotensi menciptakan instabilitas politik, dan meruntuhkan proses demokratisasi yang telah dibangun sejak dulu.
"Pembatasan kekuasaan dalam negara-negara demokratis dengan sistem presidensial dilakukan untuk menciptakan regenerasi politik pada level nasional dan lokal sehingga memungkinkan elite politik lain ambil bagian dalam suksesi kepemimpinan nasional. Selain itu, hal tersebut bertujuan untuk menghindari potensi pejabat eksekutif membuat kebijakan yang tidak demokratis. Pembatasan periode jabatan presiden juga bertujuan untuk memberikan kepastian bagi presiden mengenai masa jabatannya," terang Arya Fernandes.
Kepala Badan Bela Negara sekaligus Wakil Ketua Umum FKPPI ini menjelaskan, bahwa MPR saat ini tetap fokus pada Rekomendasi MPR periode 2009-2014 yang dituangkan dalam Keputusan MPR Nomor 4 / MPR / 2014 dan Rekomendasi MPR periode 2014-2019 melalui Keputusan MPR Nomor 8 / MPR / 2019 merekomendasikan kepada MPR Periode 2019-2024 untuk mengkaji substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara, termasuk membangun konsensus politik dalam penetapan bentuk hukumnya.
Rekomendasi itu juga mengamanatkan bahwa dalam rangka mewujudksan kesatuan sistem perencanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan terintegrasi dengan sistem perencanaan pembangunan daerah, maka perlu dirumuskan kembali sistem perencanaan pembangunan yang tepat, yang berorientasi pada demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
Pentingnya kehadiran sebuah haluan negara, berangkat dari sebuah kebutuhan akan hadirnya prinsip-prinsip yang bersifat direktif, yang akan menjabarkan prinsip- prinsip normatif dalam Konstitusi menjadi kebijakan dasar politik negara, sebagai panduan atau pedoman bagi penyelenggaraan pembangunan nasional.
"Urgensi menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara tersebut mendorong lahirnya wacana amendemen Konstitusi secara terbatas, untuk mengatur kewenangan MPR (sebagai satu-satunya lembaga negara yang merepresentasikan aspirasi politik dan keterwakilan kepentingan daerah) untuk menetapkan PPHN sebagai sebuah Haluan Negara yang harus mempunyai legal standing yang kuat, sekaligus tidak kaku. Dan bentuk hukum yang paling ideal adalah Ketetapan MPR," pungkas Bamsoet. (*)