TRIBUNNEWS.COM - Advokasi tindak kekerasan pada perempuan dan anak merupakan bagian dari upaya menegakkan amanat konstitusi mengenai perlakuan setara di hadapan hukum bagi seluruh warga negara.
"Pada dasarnya, konstitusi mengamanatkan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan upaya advokasi merupakan perilaku yang sesuai dengan amanat konsitusi," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Membangun Kesadaran Advokasi: Melawan Budaya Damai dan Menutup Aib yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (16/10).
Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari (Direktur Sarinah Institut) itu menghadirkan Tiasri Wiandani (Komisioner Komnas Perempuan), Dr. Livia Iskandar, MSc, Psikolog (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban periode 2019-2024), Dr. Neng Dara Affiah, M.A (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik/FISIP, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Dr. Atang Irawan, S.H., M.Hum (Ketua Badan Advokasi Hukum DPP Partai NasDem) sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula Nur Amalia (Pendiri LBH APIK) sebagai penanggap.
Saat ini, ujar Lestari, data meningkatnya tindak kekerasan seolah bukan lagi pemantik kesadaran untuk menerapkan hukum secara adil.
Akibatnya, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, publik menyimpulkan, proses hukum berjalan apabila sebuah kasus menjadi pembicaraan warganet atau viral.
Budaya menyelesaikan masalah hukum secara kekeluargaan untuk menjaga nama baik, menurut Rerie, sebenarnya menghilangkan hak atas perlindungan hukum serta kewajiban untuk mematuhi aturan hukum yang berlaku.
Untuk merealisasikan amanat konstitusi terkait perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara, ujar Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, diperlukan upaya membangun kesadaran advokasi.
Kesadaran advokasi, jelas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, merupakan upaya aktif membela, mempertahankan, dan mempromosikan kepentingan individu atau kelompok melalui jalur hukum.
Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani, mengungkapkan bahwa meski saat ini sudah ada sejumlah regulasi yang cukup baik sebagai instrumen perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan, tetapi kasus kekerasan masih saja terjadi.
Tiasri menegaskan bahwa kondisi tersebut perlu mendapat perhatian serius untuk menekan peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan, serta mengevaluasi efektivitas penerapan berbagai regulasi yang ada untuk mencegah dan melindungi korban kekerasan.
Baca juga: Lestari Moerdijat Minta Kasus Pelecehan dan Kekerasan di Lingkungan Pendidikan Harus Segera Diatasi
Tiasri menilai sejumlah regulasi yang ada sudah cukup baik. Masih maraknya kasus kekerasan yang terjadi, jelas dia, karena adanya kontribusi dari budaya patriarki dan ada relasi kuasa pada keseharian masyarakat.
Selain itu, tambah Tiasri, praktik bias gender juga masih terjadi yang menjadikan perempuan rentan terhadap kekerasan.
Di sisi lain, ujar dia, masih ada kebijakan di tingkat peraturan daerah yang masih menempatkan perempuan sebagai objek kebijakan itu.