TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari FPKS Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi dan mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sekalipun telat, karena selain sesuai dengan aspirasi dan harapan masyarakat luas, sejalan dengan Konstitusi juga membuka harapan akan hadirnya Pilpres yang lebih demokratis dengan bisa majunya lebih banyak lagi capres dan cawapres yang berkualitas.
“Setelah puluhan kali dan oleh berbagai pihak , presidential threshold (PT) dalam Undang - Undang Pemilu itu diajukan judicial review ke MK salah satunya oleh PKS pada September 2022, tetapi selalu ditolak oleh MK. Akhirnya permohonan penghapusan ambang batas pengajuan calon Presiden/Wapres itu dikabulkan oleh MK. Sekalipun telat, tapi keputusan penting itu tetap diapresiasi, agar ke depan tidak terulang lagi pembelahan di tingkat Rakyat akibat dari hanya adanya kandidat capres/cawapres yang sangat terbatas akibat adanya PT 20 persen sebagaimana terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019, juga agar makin banyak anak-anak bangsa yang berkualitas untuk bisa maju/dimajukan sebagai calon Presiden/wakil Presiden sehingga Pilpres bisa lebih berkualitas dan kedaulatan Rakyat bisa lebih maksimal dilakukan karena adanya pilihan yang lebih beragam dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres) di Indonesia,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (3/1).
Meski begitu, HNW sapaan akrabnya mengakui MK sendiri di dalam putusan ini juga seperti mengkhawatirkan adanya jumlah calon presiden yang terlalu banyak, sehingga memberikan amanat kepada DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) dengan melakukan revisi UU Pemilu. “Ada beberapa pedoman yang telah disampaikan oleh MK, walau bila kita kaji lebih dalam pedoman-pedoman itu belum tentu dapat menjawab kekhawatiran bakal terlalu banyak capres yang akan ditawarkan ke Rakyat sebagai pemilih dan pemilik kedaulatan. Sekalipun dengan adanya ketentuan dibukanya koalisi dalam pencalonan, maka jumlah calon Presiden/Wakil Presiden tidak akan sangat banyak, pasti juga akan terukur. Sekalipun demikian, berapa pun jumlah Capres/cawapres yang diajukan itu lebih konstitusional dan lebih demokratis ketimbang hanya 2 capres yang bisa dimajukan akibat adanya PT 20%,” ujarnya.
HNW menambahkan agar MK dengan putusan terakhir yang menghapus PT dengan argumentasi konstitusi, rasio dan etika serta moralitas itu dapat menegakkan semua aturan Konstitusi dan karenanya dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan hasil Pemilu bukan hanya Pilpres saja, maka ia juga berharap agar MK benar-benar Konsisten menegakkan atau memberlakukan ketentuan-ketentuan Konstitusi dengan merevisi/meluruskan beberapa putusan MK lainnya. Ia mencontohkan salah satunya adalah terkait dengan masih diberlakukannya ambang batas pencalonan kepala daerah, dimana di dalam putusan terakhirnya soal Pilkada, MK masih menetapkan adanya ambang batas pencalonan sekalipun sudah jauh di bawah 20 persen. “Kalau untuk Pilpres saja PT 20% dihapus olh MK, apalagi untuk Pilkada, mestinya ketentuan ambang batasnya juga dihapus bukan hanya dikurangi, sesuai ketentuan Konstitusi yang tidak mengenal pembatasan itu, juga sesuai harapan Rakyat pemilik kedaulatan,” ujarnya.
HNW menyebutkan putusan MK mengenai pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) yang dilakukan secara serentak dan mulai diberlakukan pada Pileg dan Pilpres tahun 2019, juga perlu dipertimbangkan untuk dievaluasi dan dikoreksi oleh MK. Pasalnya, bila merujuk kepada Pasal 6A ayat (1) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) dan ketentuan lain dalam konstitusi, tidak ada ketentuan yang eksplisit menyebutkan bahwa pemilu (pileg dan pilpres) dilakukan secara serentak.
“Seharusnya sesuai ketentuan tertulis dalam Konstitusi (Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945), Pilpres dan Pileg tidak dilakukan serentak, melainkan dipisahkan, sebagaimana yang diberlakukan dalam Pemilu 2004 hingga 2014, dimana Pemilu Legislatif (Pileg) diselenggarakan bulan Februari dan Pemilu Presiden(Pilpres) diselenggarakan bulan Juni. Hal itu perlu juga dikoreksi oleh MK agar putusan-putusan MK yang lalu dan menciptakan permasalahan di masyarakat dapat diperbaiki, dan itu juga sebagai bukti konsistensi MK menaati/memberlakukan semua aturan konstitusi dengan adil dan benar. Dan itu juga lebih sesuai dengan spirit putusan MK terakhir yang menghapus PT 20% yang memberi ruang dan hak bagi setiap Partai peserta Pemilu untuk mengajukan calon Presiden maupun Wakil Presiden. Karena dengan putusan MK terbaru tersebut, sangat mungkin banyak pihak akan mendirikan Partai agar bisa ikut Pemilu agar kemudian dapat ikut mencalonkan Presiden atau wakil Presiden,” jelasnya.
Baca juga: HNW: Akhiri 2024 Songsong 2025, Palestina Merdeka, Hentikan Kejahatan Israel atas Gaza/Palestina
Ke depan, HNW mengusulkan, agar poin-poin itu juga sebaiknya menjadi bahan pembahasan di DPR sebagaimana amanat dari MK untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering). “Agar perbaikan sistem pemilu tidak hanya parsial terkait presidential threshold, tetapi juga mencakup aspek-aspek lainnya seperti threshold untuk Pilkada bila masih akan dipilih langsung oleh Rakyat, serta pemisahan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pilpres. Maka DPR dalam masa sidang terdekatnya agar segera mengagendakan perubahan UU Pemilu dan UU Pilkada sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi, serta sesuai dengan spirit putusan MK yang bersifat final dan mengikat itu. Demi meningkatnya kualitas Pemilu, demokrasi yang lebih substantif, serta makin terlaksananya kedaulatan Rakyat secara lebih baik,” pungkasnya.