“Perbuatan yang dilakukan atas dasar relasi kuasa yang timpang, bukan soal mau sama mau, bukan soal hasrat, dengan tujuan supaya pelaku atau pihak ketiga memperoleh keuntungan baik seksual maupun finansial atau keduanya, dan buat korban ini merugikan, baik secara fisik, psikologis, bahkan finansial,” jelasnya.
Ia juga menyambut adanya UU TPKS terkait soal eksploitasi seksual anak dan perempuan pada ruang digital, karena baru kali ini sejak Indonesia merdeka memiliki satu Undang-Undang yang mengatur tentang bagaimana perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yang tidak hanya terfokus pada soal penghukuman, tetapi juga bagaimana korban bisa memperoleh pemulihan.
Salah satu strategi menekan angka KBGO adalah penggunaan Rights to be Forgotten. Ia menambahkan, “Perlu ada pengaturan tentang Rights to be Forgotten sebagai hak seseorang untuk meminta penyedia platform menghapus jejak pencarian atas dirinya di internet. Namun ini perlu dibatasi supaya pelaku tidak memiliki akses untuk menghapus jejak tindakannya.”
UU TPKS Merupakan Bentuk Tanggung Jawab Negara
Mualimin Abdi mengatakan jika UU TPKS walaupun pada awalnya mengundang pro kontra, pastinya punya maksud dan tujuan baik yaitu agar tercipta suatu keteraturan dan ketertiban, serta perlindungan terhadap kelompok rentan yakni perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.
“Yang dimaksud rentan bukan tidak berdaya atau tidak berfungsi, tetapi di dalam UUD dijelaskan bahwa perempuan itu memang termasuk di dalam kelompok yang perlu diberikan hak-hak tertentu dalam rangka pengimplementasian Hak Asasi Manusia,” ujar Mualimin.
Ia juga menyampaikan bahwa salah satu tujuan UU TPKS selain mencegah bentuk kekerasan adalah bagaimana UU tersebut bisa menangani korban apabila terjadi kekerasan dan bagaimana korban diberikan perlindungan dan pemulihan. (*)