Kami mengendarai mobil sedan merah, dikemudikan Mas Eki, suami dari Ibu Huri Yani, pegawai Balai Pustaka dan pembina Sanggar Sastra Balai Pustaka.
Mas Eki dan Ibu Huri Yani, datang ke Rumah Puisi dalam rangka 10 Tahun Rumah Puisi. Selain saya dan Taufiq Ismail, juga ada penyair Jamal D. Rahman, duduk di jok belakang bersama saya. Taufiq Ismail mengenakan pakaian putih, duduk di jok depan, samping Mas Eki.
Sepanjang perjalanan menuju masjid, Taufiq Ismail menceritakan sosok Haji Miskin. Salah seorang tokoh pergerakan Minang menentang kolonialis Belanda. Haji Miskin berasal dari Kampung Pande Sikek, sekampung dengan ibundanya. Ia hidup di abad 19.
Kata Taufiq Ismail, Haji Miskin memperdalam ilmu agama di Mekkah dan Madinah, bersama dua tokoh Minang lainnya, Haji Piobang dan Haji Sumanik.
Pulang ke Minang, ketiganya menghadapi cengkraman kolonialis Belanda. Mereka lalu mengorganisir gerakan menantang penjajahan.
Salah seorang "murid" Haji Miskin, Peto Syarif, sangat mahir membentuk pertahanan. Dialah yang membangun benteng menahan serbuan Belanda. Peto Syarif juga seorang alim dan pemimpin pergerakan perlawanan gigih, yang kelak terkenal sebagai Imam Bonjol, satu dari sepuluh murid Haji Miskin.
Haji Miskin sendiri ditangkap dan dihukum gantung oleh Belanda. Almarhum dimakamkan di Pande Sikek, di sebuah bukit kecil, yang sekarang dijadikan cagar budaya.
Taufiq Ismail menunjukkan letak makam, dan saat pulang Jumatan, kami membacakan Alfatihah untuk Haji Miskin. Taufiq juga menunjukkan tempat bale-bale pertemuan Haji Miskin dengan masyarakat yang ikut dibakar Belanda.
Tak jauh dari Masjid Haji Miskin, Taufiq Ismail menunjuk lagi sebuah rumah kayu. "Itu rumah kami. Saya waktu kecil di sini," kenang Taufiq Ismail. Kami berhenti di rumah itu dan berfoto.
Taufiq Ismail menceritakan, keduanya orang tuanya, tinggal di rumah itu. Sebelum kemudian "diusir" Belanda ke Pekalongan, karena terlibat dalam gerakan melawan Belanda.
Ayahanda Taufiq Ismail, A. Gaffar Ismail dan ibunya adalah tokoh muda pergerakan melawan Belanda, selain berprofesi sebagai guru.
Ayab Taufiq dan Ibunya juga ditangkap Belanda dan diasingkan ke lar Tanah Minang.
"Tapi karena waktu itu ayah saya masih berusia di bawah 21 tahun, Belanda mempersilakan memilih tempat mana yang akan menjadi tempat tinggal barunya, yang penting keluar dari Tanah Minang. Ayah saya lalu memilih Pekalongan," cerita Taufiq.
Di tempat baru itu lahirlah anak pertama pasangan A. Gaffar Ismail dan Sitti Nur Muhammad Nur. Bayinya diberi nama Taufiq Ismail. Tapi ketika berusia tiga bulan, bayi itu meninggal dunia.
Setahun kemudian, Sitti Nur Muhammad Nur mengandung anak kedua. Keluarga dan famili, menyarankan agar melahirkan di kampung saja. Usul dan nasihat tersebut dituruti. Sitti Nur Muhammad Nur diantar pulang ke kampung. Sementara A. Gaffar Ismail tetap di Pekalongan. Sitti kembali melahirkan bayi laki-laki, di Bukit Tinggi pada tanggal 25 Juni 1935.