News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Dari Kaki Gunung Singgalang dan Marapi, Sastrawan Taufiq Ismail Membangun Rumah Puisi

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Halaman depan rumah orangtua sastrawan Taufiq Ismail di Pande Sikek, Sumatera Barat.

"Ayah saya dari Pekalongan mengatakan agar bayi yang lahir itu diberi nama Taufiq Ismail. Tapi ditentang oleh keluarga di kampung, alasannya umur bayi itu singkat kalau namanya sama dengan nama anak pertama yang sudah meninggal. Tapi ayah saya tetap dengan keputusannya, dan mengatakan bahwa panjang pendeknya usia manusia tidak ditentukan oleh nama. Melainkan ditentukan oleh Allah SWT. Dan bayi itu, sekarang berusia 83 tahun, saat ini sedang berdiri di sini," kata Taufiq Ismail menceritakan sepenggal kisah hidupnya.

Ia sampaikan cerita itu persis saat berdiri di depan rumahnya di Pande Sikek. Kami tersenyum mendengar kisah itu. Taufiq juga senyum dan tertawa kecil.

Taufiq melalui masa usia pra sekolah di Pekalongan. Lalu Sekolah Rakyat (SR) di Solo. Pindah ke Semarang, Salatiga dan tamat SR di Yogyakarta.

Ketika menanjak remaja, Taufiq pindah ke Bukit Tinggi, masuk sekolah menengah pertama. Sekolah Menengah Atas atau SMA dilanjutkan di Bogor dan kemudian balik lagi ke Pekalongan.

Pada tahun 1956–1957 ia memenangkan beasiswa American Field Service International School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia.

Selesai dari sana, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun 1963.

Saat usia 13 tahun, dan duduk di SMP Bukit Tinggi, Taufiq ikut mengungsi ke Gunung Singgalang. Masa itu keadaan Tanah Minang terus bergolak melakukan perlawanan terhadap penjajah kolonialis.

Pande Sikek dibakar Belanda. Pertempuran terjadi antara Padang Panjang dan Bukit Tinggi. Taufiq bersama penduduk Pande Sikek naik ke Singgalang.

"Saya ingat betul, saya bawa nasi bungkus," kisah Taufiq Ismail ketika mengawali peringatan 10 Tahun Rumah Puisi ke esokan harinya, 23 Desember 2018.

Ruamah Puisi Taufiq Ismail dipenuhi pula dengan berbagai kutipan puisi dari penyair-penyair Indonesia dan penukis dunia. Tentu, juga beberapa penggalan puisi Taufiq Ismail sendiri.

Baca: Olla Ramlan Enggan Berkomentar Terkait Kasus Endorsing Produk Kosmetik

Di ruangan tengah terpampang sebuah perbandingan tugas membaca buku sastra di 13 negara di dunia. Sejak 1943 sampai Rumah Puisi didirikan pada 2008, tugas membaca buku sastra di SMA Indonesia berjumlah nol buku.

Sementara saat Indonesia di jaman Hindia Belanda, buku wajib yang dibaca siswa setingkat SMA berjumlah 25 judul. Tugas menulis karangan mencapai 36 karangan setahun.

"Sekarang tugas menulis sudah mirip Shalat Idul Fitri, yakni hanya setahun sekali." demikian bunyi kalimat di dinding itu.

Baca: Bersama Kawan-kawannya, Ali Nekat Berselancar di Pantai Carita Pasca Tsunami

"Rumah Puisi ini hanya mengajarkan dua hal. Menumbuhkan kegemaran membaca, dan mendidik mahir menulis," ulang Taufiq Ismail mengenai program Rumah Puisi itu.

Di halaman Rumah Puisi terdapat sepeda dengan bunga, dan sangkar burung juga berisi bunga. Bukan bunga plastik. Melainkan bunga asli. Sebagai penyair, saya kemudian menuliskan pemandangan puitis ini sebagai berikut:

BUNGA DI BONCENGAN SEPEDA

Bunga di boncengan sepeda putih, bertasbih sepanjang hari.

Bunga dalam sebelas sangkar putih, berdoa jernih dan wangi.

Singgalang berkabut, Merapi juga berkabut Dari pucuk keduanya menjulur puisi,

Kiranya tak habis-habisnya, Kiranya tak putus-putusnya, Langit mendengarkan.

(Fikar W.Eda/22-23/12/2018)

Masih dalam rangkaian perayaan 10 Tahun Rumah Puisi, Taufiq Ismail meluncurkan antologi puisi "Debu di Atas Debu" yang sudah diterjemahkan dalam 11 bahasa dunia, yakni Inggris, Arab, Belanda, Jerman, Prancis, Persia, Bosnia, Rusia, Korea, Jepang, dan Tionghoa.

Buku-buki puisi karya Taufiq Ismail sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia.

Hadir juga dalam peluncuran itu Direktur Utama PT. Balai Pustaka, Achmad Fachrodji, beberapa sastrawan Sumatera Barat serta sejumlah tamu undangan. Termasuk Ibunda Anis Baswedan, Gubernur DKI Jakarta.

Penyair Jamal D Rahman yang juga pimpinan redaksi majalah sastra Horison, mengatakan, boleh jadi penyair Taufiq Ismail yang paling banyak karyanya diterjemahkan dalam bahasa asing.

Salah satu puisi Taufiq Ismail, "Dengan Puisi, Aku" juga telah diterjemahkan dalam 52 bahasa dunia dan 22 bahasa daerah di Indonesia, salah satunya dalam bahasa Minang.

"Pak Taufiq Ismail adalah salah seorang sastrawan produktif yang terus menyemangati generasi muda. Kami beruntung, Balai Pustaka ikut menerbirtkan karya Pak Taufiq yang diluncur ini," kata Dirut Balai Pustaka Achmad Fachrodji.

Devie Komala Syahni dari Sanggar Matahari menyebut Taufiq Ismail sebagai salah seorang yang konsisten dan terus memikirkan nasib bangsanya.

"Mendirikan Rumah Puisi adalah contoh konkret dari semangat Pak Taufiq Ismail mewariskan peradaban kepada generasi muda bangsa ini," kata Devi.

Dalam kesempatan itu, Deavis Sanggar Matahari membawakan dua musikalisasi puisi "Karangan Bunga" dan "Doa" ciptaan Taufiq Ismail.

Tokoh teater Bandung, Iman Soleh membacakan salah satu puisi karya Taufiq Ismail yang ditulis untuk istrinya Ati Ismail. Saya sendiri membacakan Bunga di atas Sepeda Rumah Puisi dan Ranah Minang.

Malamnya, digelar pernainan "KIM" satu jenis permainan gembira tradisi Minang. Ini juga bagian dari perayaan 10 Tahun Rumah Puisi. Angka disusun melalui nyanyi. Yang lebih awal melengkapi susunan angka, mendapat cendramata. Malam itu, hadiahnya buku dan sajadah. Semuanya gembira.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini