Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik perbandingan panjang jalan yang dibangun di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terus berlanjut.
Polemik tersebut muncul dari pernyataan kandidat capres Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan dalam acara Milad ke-21 PKS di Istora Senayan Jakarta, pada Sabtu (20/5/2023) lalu.
Respon terakhir datang dari Dirjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Hedy Rahadian yang menyatakan ada salah penafsiran terhadap data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait jalan non-tol.
Hedy mengatakan bahwa BPS menampilkan data berdasarkan status jalan, bukan pembangunan jalan baru. Misalnya jalan nasional yang bertambah ribuan kilometer, menurutnya berasal dari perubahan status jalan dari jalan provinsi.
Perihal hal ini, Direktur Eksekutif lembaga Development Technology Strategy (DTS), Ainul Huda mengatakan tak ada kesalahan interpretasi terhadap data panjang jalan yang disuarakan Anies.
Menurutnya Anies memaparkan data panjang jalan dari BPS berdasarkan tingkat kewenangan dari 2004 hingga 2021.
Kata Ainul, penambahan panjang jalan selama periode 2004-2014 atau di masa pemerintahan SBY mencapai 144.825 km atau 14.483 km per tahun, sedangkan penambahan panjang jalan pada periode 2021-2014 di masa permintahan Jokowi mencapai 28.363 km, atau 3.545 km per tahun.
“Jika melihat data BPS tersebut, perubahan panjang jalan di suatu tahun dapat diterjemahkan sebagai kemunculan atau penambahan jalan baru, karena adanya pembangunan jalan, dari tidak ada menjadi ada,” kata Ainul saat dikonfirmasi, Kamis (25/5/2023).
“Jadi pendapat bahwa data BPS mencerminkan pembangunan atau penyediaan jalan secara umum pada periode 2004-2014 lebih masif daripada periode 2014-2021, tidak salah”, ujarnya.
Ainul menyebut makna fundamental pembangunan dan penyediaan jalan termasuk pengelolaan; peningkatan status jalan dari jalan provinsi ke jalan nasional, berarti ada pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dalam hal mengubah, membangun, memperbaiki dan sebagainya.
“Termasuk implikasi anggaran, dan dengan peingkatan status tersebut pemerintah sedang mengkoneksikan pusat kegiatan nasional, wilayah hingga lingkungan demi memacu pembangunan kewilayahan”, ungkap dia.
Jalan umum atau jalan non-tol, lanjut Ainul, merupakan barang publik dan merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan demi mendukung dan memperlancar kegiatan masyarakat.
Sehingga kata dia, peningkatan panjang jalan berdasar data BPS dimaknai sebagai campur tangan pemerintah meningkatkan penyedian barang publik.
Baca juga: Anies: Infrastruktur Jalan yang Dibangun Era Jokowi Cuma 19 000 Km, Era SBY Tembus 144.000 Km
“Orang mungkin bisa bilang bahwa penambahan tersebut tidak serta merta adalah pembangunan jalan baru, tetapi karena perubahan status atau kewenangan dari jalan tersebut. Namun demikian, akan lebih sulit mendukung pendapat ini. Data BPS tidak mengatakan demikian,” ungkapnya.
Ainul menyebut bahwa data BPS terkait panjang jalan disajikan secara sederhana, berdasar status atau kewenangan (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota).
Oleh karenanya, menurut Ainul, semestinya data tentang perubahan surat keputusan (SK) status jalan juga dipublikasikan supaya masyarakat paham.
“Beberapa kejadian terkait masyarakat melakukan protes kepada pemerintah provinsi demi perbaikan jalan yang statusnya jalan nasional, bisa dihindari di kemudian hari, karena masyarakat sudah paham, sasaran protes tidak salah alamat lagi,” pungkas Ainul.