Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Citra Institute, Efriza menilai PDIP tak berani memberi sanksi kepada Joko Widodo (Jokowi) terkait aturan partai soal satu keluarga harus dalam satu partai yang sama.
Alih-alih tegas terhadap aturan partai, PDIP justru hanya sekedar mengingatkan Jokowi adalah petugas partai.
"PDIP hanya bisanya curhat di para kadernya saja, sekadar mengingatkan Jokowi adalah petugas partai. Tapi, PDIP ternyata hanya bisa menerima dengan ngedumel, ketika Kaesang pindah partai, tak berani PDIP memberikan sanksi kepada Jokowi," kata Efriza kepada wartawan, Jumat (29/9/2023).
"Ini menunjukkan Jokowi paham meski ia petugas partai, kader biasa, tapi ia punya pengaruh yang luar biasa, apalagi ia penguasa politik saat ini," sambungnya.
Menurutnya, Jokowi sudah punya posisi tawar terhadap PDIP. Secara internal, Megawati memang pengambil keputusan tunggal selaku ketua umum. Namun secara kekuasaan, Megawati akan meminta nasehat dari Jokowi.
"Artinya ia bukan sekadar petugas partai," ucapnya.
Baca juga: PDIP Tak Khawatir Kaesang Gabung PSI: Tidak Segenting Itu
Kata Efriza, PDIP memilih mengabaikan aturan satu keluarga harus satu partai dari peristiwa bergabungnya putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep ke PSI. Namun, PDIP akan mempertegas AD/ART untuk mencegah preseden buruk terjadi.
"Ini menunjukkan mereka (PDIP) cuma bisa curhat, mengingatkan Jokowi dan keluarga tapi tak punya keberanian bertindak tegas, karena posisi Jokowi adalah penguasa politik, ia bukan petugas partai kaleng-kaleng," tuturnya.
Efriza mengatakan, PDIP sudah menyatakan move on dan tak akan memberi sanksi kepada Jokowi dan keluarga. PDIP dinilai telah melupakan kasus Kaesang dan menerima bahwa putra bungsu Jokowi itu bukan kader PDIP.
"Artinya, selesai tanpa perlawanan balik dari PDIP, malah mereka menawarkan Kaesang pasca jadi ketua umum PSI untuk dukung Ganjar," tambahnya.
Baca juga: Himpun Kekuatan Relawan hingga Blusukan, Gaya Kaesang Contek Jokowi Buat PSI Jadi Perbincangan
Dia mengatakan, beberapa elite PDIP selalu menggunakan diksi petugas partai kepada Jokowi dan keluarga. Diksi itu yang awalnya bermakna baik, malah terkesan menjadi olok-olok.
Efriza menyebut, jika Gibran menggunakan baju 'Petugas Parkir' saat pawai kemerdekaan, sedangkan Kaesang menunjukkan sikap tegas bahwa ia bukan petugas partai.
"Ia juga tak mau menjadi 'petugas parkir' ia memilih jalannya sendiri jalan ninja, atas keyakinan sendiri dan mengejar impiannya sendiri," ujarnya.
"Jadi tak ada lagi Jokowi tanpa PDIP itu tak ada apa-apanya, tetapi hubungan yang sudah menunjukkan Jokowi punya pengaruh yang tinggi, melebihi kader lainnya," lanjutnya.
Lebih lanjut, Efriza menilai, saat ini PDIP bukan menjadi khawatir dengan PSI karena bergabungnya Kaesang. Tetapi, lebih berhati-hati dalam berbicara tentang Jokowi dan keluarganya. Sebab, PDIP bisa kehilangan aset individu dengan kualitas dan kekuatan pemilih loyal.
"PDIP memang punya tokoh populer, tetapi belum tentu punya tokoh dengan DNA keterpilihan di Pemilu, seperti Jokowi dan keluarganya," ujarnya.
Sehingga, ke depan PDIP dipandang bakal lebih memilih tidak bereksistensi dengan Jokowi dan Keluarga. Jika tidak, individu-individu keluarga Jokowi bisa saja meninggalkan PDIP dan bergabung bersama membangun dinasti Jokowi dalam pengelolaan kepartaian di PSI.
"Ini juga dikhawatirkan PDIP, seperti siapa yang diajukan di Jawa Tengah atau DKI Jakarta jika ditinggalkan Kaesang, padahal Kaesang berpotensi menang, dan didukung ke Jakarta atau Jawa Tengah," ucapnya.
"Bahkan, diyakini, Kaesang meskipun di PSI, jika maju ke walikota Depok, juga dipertimbangkan oleh PDIP," pungkas dia.