TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) menjadwalkan akan mengumumkan putusan terkait batas usia capres-cawapres pada Senin (16/10/2023) besok pukul 10.00 WIB.
Dalam putusan tersebut, MK bakal mengumumkan putusan sebanyak tujuh gugatan dari berbagai elemen masyarakat yaitu dari pejabat publik hingga mahasiswa.
Sebagai informasi, gugatan tersebut terkait perubahan pasal 169 huruf q UU Nomor 7 tentang Pemilihan Umum.
Dalam gugatan tersebut, ada beberapa pemohon yang meminta batas usia capres-cawapres diturunkan dari 40 tahun ke 35 tahun.
Serta ada pula gugatan yang meminta batas akhir usia capres-cawapres 70 tahun.
Jelang pengumuman putusan besok, muncul beragam protes dari berbagai pihak.
Baca juga: Gugatan Batas Usia di MK, Pengamat Soroti Masifnya Judicialisasi Politik Dalam Pengaturan Pemilu
Contohnya adalah, pakar hukum dan tata negara Jentera Bivitri Susanti.
Bivitri menduga jika putusan gugatan tersebut diterima, maka hal itu dilatarbelakangi atas ramainya pencalonan sebagai cawapres terhadap Wali Kota Solo sekaligus putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka.
Selain itu, Bivitri juga menganggap ketika MK memutuskan untuk merubah batas usia capres-cawapres, maka akan merusak peradaban politik di Indonesia.
"Merusaknya itu untuk memajukan orang yang memiliki privilege tertentu, dalam hal ini anaknya Presiden. Melulu sebenarnya tumpuannya itu," katanya dikutip dari YouTube Kompas TV, Minggu (15/10/2023).
Bivitri juga menganggap bahwa semestinya terkait aturan batas usia capres-cawapres tidak diputuskan oleh lembaga yudikatif tetapi seharusnya oleh DPR maupun Presiden.
Sehingga, sambungnya, ketika MK tetap menerima dan memutuskan gugatan tersebut, akan merusak marwah lembaga penjaga konstitusi itu sendiri.
"Jadi dengan menggolkan seperti ini, mendorong menggunakan segala cara, yang saya khawatirkan sistemnya bakal rusak."
"MK-nya juga akan berkurang legitimasinya karena akan di-ridicule atau diolok-olok," jelas Bivitri.