Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - SETARA Institute merespons putusan Mahkamah Kontitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum.
MK mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres yang diajukan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah.
Baca juga: Nama Gibran Menguat Jadi Cawapres Pasca-Putusan MK, Demokrat Serahkan ke Prabowo
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi mengatakan, dengan memutus perkara tersebut, MK telah menegaskan inkonsistensi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan Konstitusi RI.
"Apapun alasannya, MK telah melampaui batas kewenangannya. MK telah mengambil alih peran DPR dan Presiden, dua institusi yang mempunyai kewenangan legislasi, karena dengan putusan menerima dan mengubah bunyi Pasal tersebut, artinya MK menjalankan positive legislator," kata Hendardi, dalam keterangannya, Selasa (17/10/2023).
Ia menilai, MK sesuka hati menafsir ketentuan open legal policy sesuai selera penguasa.
"MK yang mengklaim sebagai the sole interpreter of the constitution atau satu-satunya lembaga penafsir konstitusi, nyatanya telah memimpin penyimpangan kehidupan berkonstitusi dan mempromosikan keburukan atau kejahatan konstitusional (constitutional evil)," ucap Hendardi.
"Dalam posisi ini, kelas kenegarawanan seperti apa yang hendak dibanggakan dari hakim-hakim MK?" sambungnya.
Baca juga: Kontroversi Putusan MK, Saldi Isra & Arief Hidayat Beberkan Kejanggalan, Singgung Gerbong Hakim
Jika dengan putusan ini Gibran Rakabuming Raka melenggang ke bursa Pilpres, kata Hendardi, tidak perlu analisis rumit untuk mengatakan bahwa putusan MK memang ditujukan untuk mempermudah anak Presiden Jokowi melanjutkan kepemimpinan bapaknya dan meneguhkan dinasti Jokowi dalam perpolitikan Indonesia.
"Tidak ada presiden yang sesibuk Jokowi dalam mempersiapkan penggantinya kecuali Jokowi," ujarnya.
Hendardi mengatakan, hal ini terjadi bukan hanya karena nafsu kuasa Jokowi tetapi juga kecemasan akan masa depan dirinya yang akan undur diri dari kursi kepresidenan dengan warisan kebijakan yang buruk di banyak sektor.
Lebih lanjut, di luar soal kontestasi Pilpres, Hendardi menilai, MK yang sebelumnya menjadi pembeda antara rezim Orde Baru dan rezim demokrasi konstitusional pasca Orde Baru, saat ini hampir tidak ada bedanya.
"Karena dengan bangga para hakim itu mempromosikan apa yang disebut judisialisasi politik otoritarianisme. Jika dahulu otoritarianisme diperagakan secara langsung, maka saat ini otoritarianisme dipermak melalui badan peradilan menjadi seolah-seolah demokratis padahal yang dituju adalah kehendak berkuasa dengan segala cara," kata Hendardi.
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.