Laporan Wartawan Tribunews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua organisasi masyarakat, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) mendorong supaya Majelis Kehormatan Mahkamah Konsitusi (MKMK) untuk dibuat secara permanen.
Dorongan itu lahir akibat MK yang kini dinilai bertindak di luar kewenangannya sebagai negative legislator yang hanya berwenang untuk menghapus/membatalkan suatu norma dari Undang-Undang (UU).
Kini MK disebut menjadi positive legislator, yang di mana hal itu sebenarnya merupakan kebijakan pemerintah dan DPR baik ditinjau secara ketatanegaraan maupun secara peraturan perundang-undangan.
Tindakan di luar kewenangan ini terlihat dari Putusan MK dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mereduksi syarat usia calon presiden (capres) calon wakil presiden (cawapres).
"Mendesak Mahkamah Konstitusi untuk membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi secara permanen," ujar Manajer Pemantauan JPPR Aji Pangestu dalam keterangannya, Senin (23/10/2023).
Tujuan dibentuk MKMK, lanjut Aji, untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik berupa conflict of interest terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman selaku Hakim Konstitusi.
MKMK merupakan amanah yang tertuang dalam Pasal 27A ayat (2) UU MK, pembentukan MKMK secara permanen juga menjadi salah satu rekomendasi dalam Putusan MKMK Nomor 01/MKMK/T/02/2023 yang penting untuk direalisasikan.
Sebagaimana diketahui Putusan MK terkait syarat usia minimal ini menjadi sorotan lantaran diduga sebagai karpet merah untuk Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Terbaru, Gibran kini sudah dideklarasi menjadi calon wakil presiden (cawpres) partai Koalis Indonesia Maju (KIM). Hal itu diumumkan langsung oleh Ketua Umum Gerinda Prabowo Subianto selaku bakal calon presiden (capres) KIM di kediamannya, Jakarta Selatan, Minggu (23/10/2023) malam.
Untuk diketahui, sebelumnya MKMK sempat dibuat secara ad hoc untuk menangani dugaan pengubahan putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU MK yang membahas pencopotan Hakim Aswanto.
Hal ini diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang diikuti oleh sembilan hakim konstitusi pada Senin (30/1/2023).
Hasil rapat tersebut, MK menyepakati bahwa penyelesaian kasus tidak dilakukan oleh hanya hakim konstitusi, melainkan akan diselesaikan melalui MK.