Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Gerindra menilai Mahkamah Konstitusi RI (MK) harus berbenah atau evaluasi secara internal imbas munculnya pro-kontra atas putusan gugatan batas usia minimal capres-cawapres.
"Perdebatan yang muncul tentang Putusan MK itu menunjukkan perlunya pembenahan internal MK, yaitu menyempurnakan hukum acara dan tata kelola penanganan perkara yang lebih jelas dan tegas," kata Juru Bicara Partai Gerindra Bidang HAM dan Konstitusi Munafrizal Manan dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/10/2023).
Evaluasi itu penting menurut Munafrizal, agar apapun nantinya putusan MK tidak terjadi lagi adanya pro-kontra atas dampaknya.
Sekalipun terjadi, sudah ada penanganan yang tepat untuk dijadikan solusi.
"Agar hal seperti itu tidak terjadi lagi, dan bilamana terjadi lagi maka sudah tersedia ketentuan solutif untuk menyelesaikannya," kata dia.
MK juga kata dia, perlu membuat pedoman baku tentang penerapan judicial activism dan judicial restraint sebagai rambu bagi para hakim konstitusi.
Hal itu menurut dia agar konsistensi seluruh putusan MK dan kepastian konstitusional bisa tetap terjaga.
"Laporan dugaan pelanggaran etik terhadap para hakim konstitusi tentu harus didasarkan pada bukti yang kuat, dan diharapkan putusan MKMK nanti tidak menimbulkan kegaduhan baru," tandasnya.
Sebelumnya, Partai Gerindra memberikan respons soal pro-kontra putusan gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan tersebut terkait dengan batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman menjabat sebagai kepala daerah yang dikabulkan sebagian oleh hakim konstitusi.
Juru Bicara Partai Gerindra Bidang HAM dan Konstitusi Munafrizal Manan, memberikan tanggapan atas gugatan yang memicu munculnya laporan dugaan etik terhadap seluruh hakim konstitusi dan dibentuknya Majelis Kehormatan MK (MKMK) itu.
Kata dia, sejatinya setiap putusan pengadilan apapun termasuk oleh MK sejatinya tidak pernah membuat kepuasan bagi seluruh pihak.
"Sebijaksana dan seadil apa pun para hakim menjatuhkan putusan, tetap akan ada pihak yang gembira dan kecewa atas putusan itu. Hampir tidak ada putusan lembaga peradilan yang dapat memuaskan semua pihak," kata Munafrizal dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/10/2023).
Lebih lanjut kata dia, sifat asli kewenangan MK, termasuk wewenang pengujian undang-undang, berkaitan erat dengan dimensi politik.
Sehingga penilaian publik atas putusan MK menurut dia, akan dipengaruhi oleh kecenderungan persepsi, preferensi, dan kepentingan politik orang yang menilainya.
Meski begitu, dirinya menegaskan, bahwasanya putusan MK adalah bersifat final dan mengikat.
Sehingga, baik itu puas atau tidak puas terhadap putusan itu harus dihormati secara keseluruhan.
Baca juga: Juru Bicara PKS Dorong Hakim MK Terima Saksi PTDH Jika Terbukti Langgar Etik
"Kita harus menghormati putusan para hakim konstitusi yang mengabulkan, dan juga harus menghormati para hakim konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting opinion)," tutur dia.
Tak hanya itu, terlebih kata dia, sejauh ini tidak ada upaya hukum yang tersedia untuk menilai putusan MK itu tidak sah dan kemudian membatalkannya.
Pasalnya, wacana tentang Putusan MK tidak sah dan karena itu dapat dibatalkan tidak memiliki dasar hukum kuat.
Bahkan pada ketentuan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman perihal hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila hakim mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa sulit dijadikan dasar hukum untuk membatalkan Putusan MK yang bersifat final.
"Sebab ada konflik norma hukum antara ketentuan hukum yang lebih tinggi dan ketentuan hukum yang lebih rendah. Dasar hukum sifat putusan MK yang final itu adalah UUD NRI Tahun 1945," kata dia.
"Dan menurut hierarki peraturan perundang-undangan kedudukan UUD NRI Tahun 1945 lebih tinggi daripada UU Kekuasaan Kehakiman. Tidak dapat dan tidak boleh hukum lebih rendah menganulir hukum lebih tinggi," tukas Munafrizal.
Sebagai informasi, MK telah mengabulkan sebagian gugatan terkait dengan batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman menjabat sebagai kepala daerah.
Terhadap gugatan itu terdapat pro-kontra dari publik secara luas, bahkan, dari 9 hakim konstitusi yang mengadili gugatan itu empat diantaranya memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Gugatan itu sebagian besar digadang menjadi langkah besar untuk putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres di Pilpres 2024.