Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu menyebut jika sengketa hasil Pemilu 2024 tetap ditangani oleh formasi anggota Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini, maka akan berpotensi terjadinya chaos atau kerusuhan.
Pasalnya, kata dia, para anggota hakim konstitusi dianggap bermasalah oleh publik usai memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia capres-cawapres yang berujung pada pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bacawapres Prabowo Subianto.
"Artinya apa, pemilu, sengketa pemilu akan bermuara di MK. Bisa dibayangkan kalau MK-nya sudah tidak lagi kredibel, seluruh hasil sengketa nanti diputus oleh orang yang dianggap bermasalah oleh publik. Maka ini bisa menjadi chaos menurut saya," kata Masinton dalam diskusi daring Polemik 'Suhu Politik Pasca Putusan MK' pada Sabtu (28/10/2023).
Baca juga: Masinton: Putusan MK Mengonfirmasi Skenario Terakhir untuk Ciptakan Calon Boneka
Masinton kemudian menyinggung ucapan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra yang juga merupakan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), di mana saat ini berkoalisi mendukung dengan Prabowo - Gibran.
"Putusan MK ini implikasinya luar biasa. Bahkan Prof Yusril sendiri saja mengatakan ada penyelundupan hukum di sana," ungkap Masinton.
Pernyataan Yusril pada 17 Oktober 2023 itu mengakui bahwa putusan MK soal batas usia capres-cawapres mengandung penyelundupan hukum.
Putusan tersebut menurutnya bukan putusan bulat.
Sebab ada 4 hakim konstitusi yang menyatakan dissenting opinion, 2 hakim concurring opinion, dan 3 hakim setuju.
Namun, kata Yusril, dalam pendapat concurring opinion walaupun argumennya berbeda tapi justru dianggap setuju dengan putusan.
Padahal, kata dia, argumen dalam concurring opinion dari 2 hakim MK sesungguhnya merupakan dissenting opinion. Sehingga putusan tersebut semestinya ditolak lantaran ada 6 hakim yang dissenting berbanding 3 hakim setuju.
"Kenapa yang dissenting dibilang concurring? Itulah yang saya katakan penyelundupan. Diselundupkan yang concurring itu menjadi dissenting, sehingga putusannya menjadi 5-4. Kalau yang concurring itu benar-benar dissenting, putusannya itu 6-3. 6 dissenting. Berarti ditolak oleh Mahkamah," kata Yusril.
Yusril pun menyoroti alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh.
Menurutnya Enny dan Daniel menyatakan tidak setuju semua kepala daerah yang pernah atau sedang menjabat kepala daerah berusia di bawah 40 tahun bisa mendaftar sebagai capres atau cawapres.
Enny, kata dia, membatasi hanya Gubernur yang pengaturan lebih lanjutnya harus diatur oleh pembentuk Undang-Undang.
Sedangkan Daniel, menurutnya mengatakan cukup gubernur tanpa ada penjelasan lebih lanjut harus diatur oleh pembentuk Undang-Undang.
Dua alasan tersebut, kata Yusril, berbeda dengan putusan diktumnya yang tegas mengatakan kepala daerah.
"Kepala daerah itu seperti diuraikan dalam pertimbangan hukum itu ya kita sudah tahu sama tahu lah, kepala daerah itu ya Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota," kata Yusril.
"Jadi kalau pendapat Ibu Enny dan pendapat Pak Foekh itu jelas hanya Gubernur, tidak kepala daerah yang lain. Kepala daerah yang lain itu termasuklah Bupati dan Walikota. Jadi pendapatnya Bu Enny dan pendapatnya Pak Foekh itu bukan pendapat concurring, adalah pendapat dissenting. Jadi jelas putusan ini problematik," kata dia.