TRIBUNNEWS.COM - Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Julius Ibrani membeberkan temuan pihaknya soal persyaratan dari gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas minimum usia capres-cawapres.
Hal ini disampaikannya sebagai pelapor dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara dan pedoman kode etik hakim yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/11/2023).
Awalnya, Ibrani mengungkapkan gugatan ini sempat dicabut oleh pemohon yaitu Almas Tsaqibbirru pada 29 September 2023 lalu.
Namun, sambungnya, pemohon justru membatalkan pencabutan berkas perkara pada 30 September 2023 ketika saat itu MK tengah libur.
Baca juga: Hakim Suhartoyo Diperiksa MKMK Kurang dari Satu Jam, Jimly: Bukti-bukti Sudah Lengkap
Dengan adanya temuan ini, Ibrani berharap hakim Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) turut memeriksa kelengkapan berkas persyaratan pengajuan gugatan dari Almas.
"Ini juga yang menjadi pertanyaan kami. Kami berharap Majelis Kehormatan juga bisa memeriksa kelengkapan di Gedung Mahkamah Konstitusi."
"Sepanjang pengetahuan kami, surat menyurat atau korespondensi tidak dilakukan pada saat MK tidak beroperasi atau dalam kondisi libur seperti Sabtu, Minggu, atau hari libur nasional," katanya dikutip dari YouTube MK.
Kemudian, Ibrani juga mempertanyakan MK tetap menyetujui pembatalan pencabutan berkas perkara.
Padahal, sambungnya, berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dijelaskan bahwa permohonan yang telah ditarik tidak dapat diajukan kembali meski belum ada putusan.
"Jadi ini kami juga sudah cukup alasan majelis untuk menolak surat pembatalan pencabutan perkara seharusnya."
"Namun tidak dipandang perlu penetapan kemudian dilanjutkan. Kemudian menimbulkan persepsi yang cukup kisruh, Yang Mulia," kata Ibrani.
Selanjutnya, Ibrani baru menjelaskan bahwa perbaikan substansi perkara Nomor 90/PU-XII/2023 ini tidak ditandatangani oleh Almas dan kuasa hukumnya yaitu Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, Dwi Nurdiansyah Santoso, dan Georgius Lamart Siahaan.
Meski tidak ditandatangani, berkas itu tetap diunggah di situs MK.
"Kami mendapatkan dokumen langsung dari situs MK bahwa kami melihat permohonan perbaikan yang diserahkan pemohon, juga tidak ditandatangani oleh kuasa hukum pemohon ataupun pemohon itu sendiri," kata Ibrani.