TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah menyelesaikan pemeriksaan atas tiga hakim konstitusi yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih.
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengatakan dalam proses pemeriksaan itu para hakim konstitusi mencurahkan banyak permasalahan.
"Intinya, banyak sekali masalah yang kami temukan, jadi dari tiga hakim ini saja muntahan masalahnya ternyata banyak sekali," ungkap Jimly di Gedung MK.
Baca juga: Gerindra Tuding Sejumlah Pihak yang Permasalahkan Putusan MK Munafik
Dalam sidang yang berlangsung tertutup itu, Jimly mengungkapkan para hakim terlapor yang tengah diperiksa itu juga diberi kebebasan dalam mengungkapkan apa yang mereka rasakan soal putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu.
Namun begitu Jimly masih belum membeberkan substansi apa saja yang dibahas dalam sidang pemeriksaan kemarin.
"Substansi pemeriksaan hakimnya, nanti biar terlihat di pertimbangan putusan MKMK, yang jelas di samping kita ngecek itu, bagaimana itu mengenai tuduhan pelanggaran kode etik, hakim-hakim ini kita bebasin untuk curhat. Wah curhatnya banyak Sekali," tuturnya
Namun begitu di satu sisi, Jimly masih mengungkapkan ihwal apa-apa saja yang dibahas dalam sidang pemeriksaan itu secara umum. Mengingat, sebelum sidang pemeriksaan terlapor, MKMK juga memeriksa para pelapor dalam sidang terbuka.
Baca juga: Temuan Baru MKMK: Hakim MK Lakukan Pembiaran Anwar Usman Ikut RPH Meski Punya Konflik Kepentingan
Seperti hubungan Ketua MK Anwar Usman dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga hakim konstitusi yang berbicara kepada publik soal perkara yang berkembang pascaputusan nomor 90.
"Ya kan tadi di sidang ada, satu, masalah hubungan kekerabatan, di mana hakim diharuskan mundur dari perkara tapi tidak mundur," jelasnya.
"Kedua, soal berbicara, hakim berbicara di depan publik mengenai isu yang sedang ditangani atau mengenai hal-hal yang diduga berkaitan dengan substansi perkara," sambung Jimly.
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengaku telah mencurahkan semua yang ia ketahui ihwal dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi berkaitan dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap memuat konflik kepentingan.
Hal itu ia ungkapkan saat diperiksa sebagai terlapor oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK).
"Sudah habis kami nangisnya tadi," kata Enny.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie.
Dalam sidang yang berlangsung tertutup itu Jimly mengungkapkan para hakim terlapor yang tengah diperiksa juga diberi kebebasan dalam mengungkapkan apa yang mereka rasakan soal putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu.
Namun begitu Jimly masih belum membeberkan substansi apa saja yang dibahas dalam sidang pemeriksaan hari ini.
"Wah, curhatnya banyak sekali. Yang nangis malah kami. Intinya, banyak sekali masalah yang kami temukan, jadi dari tiga hakim ini saja muntahan masalahnya ternyata banyak sekali," ungkap Jimly.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) melanjutkan sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi pada hari Rabu (1/11).
Dalam sidang pemeriksaan di Gedung II MK, Jakarta, MKMK memeriksa tiga pelapor, yakni: Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), dan advokat Tumpak Nainggolan.
Baca juga: Respons Usulan Hak Angket MK, Sekjen PDI Perjuangan Pilih Fokus Menangkan Ganjar-Mahfud MD
Jimly Asshiddiqie memimpin rapat tersebut. Perkara yang disidangkan bernomor 2, 16, dan 18 MKMK/L/ARLTP/X/2023.
"Pemeriksaan klarifikasi yang tempo hari kita sebut sebagai rapat klarifikasi sudah dianggap sekaligus merupakan sidang pendahuluan," kata Jimly di ruang sidang, Rabu.
"Sehingga klarifikasi kita anggap sudah selesai, tinggal sekarang tahap pembuktian seperti laporan yang sudah disampaikan," sambung dia.
Sebelumnya, MKMK menggelar sidang dugaan pelanggaran kode etik Ketua MK Anwar Usman. Anwar dilaporkan 16 akademisi hukum. MKMK juga memeriksa dugaan pelaporan etik hakim MK atas aduan Denny Indrayana dan LBH Yusuf.
Sidang untuk pelapor ini diikuti oleh 16 akademisi hukum yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) dan Denny Indrayana melalui aplikasi Zoom serta LBH Yusuf selaku pelapor.
Sementara, Jimly mengatakan semua orang tentu punya kepentingan.
Tak terbatas bagi individu, tapi juga kelompok, golongan, hingga partai politik tentu punya kepentingan masing-masing.
Hal itu disampaikan oleh Jimly dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi yang berlangsung di Gedung II MK, Jakarta.
Pernyataan Jimly ini ia sampaikan dalam sidang saat memberi penjelasan kepada pihak pelapor–Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara)–ihwal alasan apa saja yang dalat menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat. Salah satunya kata Jimly ialah konflik kepentingan.
Mulanya, alasan itu Jimly beberkan sebab pelapor sempat mempertanyakan kenapa MKMK harus buru-buru memutus sidang dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi ini.
Jimly menejelaskan keputusan itu lahir dari pelapor yang telah mereka periksa sebelumnya, eks Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana yang meminta sidang diputus cepat. Permintaan itu, setelah dirundingkan oleh MKMK, dapat diterima.
Namun begitu, Jimly menegaskan ia juga menghargai pendapat dari Perekat Nusantara yang memandang tanggal putusan itu terkesan terburu-buru.
Baca juga: Beragam Reaksi Sikapi Hak Angket MK, Diusulkan PDIP, Didukung Ketua MKMK Hingga Ditolak Gerindra
"Orang berbeda pendapat itu karena kepentingan, semua orang, sudahlah kita akui saja, semua pribadi punya kepentingan," ujar Jimly.
"Semua keluarga punya kepentingan, semua golongan, kelompok, apalagi partai, partai itu kan golongan, punya kepentingannya sendiri-sendiri," dia menambahkan.
Namun begitu, meski ada perbedaan pendapat karena perbedaan, tentu jalan keluarnya menurut Jimly masih dapat ditemukan dengan proses komunikasi.
"Nah itu pasti berbeda pendapatnya. Itu namanya penalaran yang didorong oleh kepentingan. Tapi kalau bertemu, dimusyawarahkan, kita bicara tentang kepentingannya lebih besar, lebih luas. Ketemu pak perbedaan itu," tuturnya.
Pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi dari Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) mengungkit independen Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman saat memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Hubungan Anwar Usman dengan sang istri, Idayati, yang merupakan saudara Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menjadi alasan kuat pelapor meragukan independensi Ketua MK dua periode itu.
Keraguan ini dilontarkan oleh Koordinator Perekat Nusantara Petrus Selestinus dalam sidang pemeriksaan pelapor atas dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi.
"Apakah ketua majelis dalam perkara 90 itu bisa independen? Karena sangat erat sekali perkawinan, ipar, kami tidak yakin karena hubungan ini membuat seseorang tidak akan bisa independen," ujar Petrus.
"Sehingga dalam pengambilan putusan ada dugaan kuat dipengaruhi oleh Bapak Jokowi," sambungnya.
Lebih lanjut, sikap Anwar yang dinilai menyalahi prinsip keberpihakan karena ikut mengambil keputusan dalam perkara Nomor 90 ini juga disorot.
Petrus mengatakan seharusnya Anwar Usman tidak terlibat karena anggota keluarga atau keponakannya, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, punya kepentingan langsung dengan perkara itu.
"Kami melihat di sini ada hubungan kekeluargaan antara ketua majelis (perkara) nomor 90 kepada presiden. Presiden adalah pihak yang diminta keterangan, juga kepada Gibran yang disebutkan di dalam putusan tersebut," ujarnya.
Baca juga: Hakim MK Suhartoyo Diperiksa MKMK Kurang Dari Satu Jam, Mengaku Hanya Dikonfirmasi Soal Laporan Etik
Dukung Hak Angket
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) merespons positif soal usulan Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu terkait hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mendorong hak angket digunakan DPR terhadap MK.
Hal itu, katanya, agar DPR menjalankan fungsi pengawasannya.
"Hak angket, ya baik itu saya kira, supaya DPR itu juga berfungsi menjalankan fungsi pengawasannya, hak-hak DPR itu banyak yang enggak dipakai, hak angket, hak bertanya, itu bagus. Itu saya dukung saja," ucap Jimly, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu.
Saat ditanya soal mekanisme hak angket, mantan hakim konstitusi itu mengatakan, agar hal tersebut ditanyakan langsung ke DPR.
Sebab, soal mekanisme itu telah tercantum di dalam tata tertib angket DPR.
"Ya tanya di DPR kan ada di dalam tata tertib angket itu kan penyelidikan, ada hak bertanya, ada interplasi. Itu pertanyaan kelembagaan, hak bertanya individu anggota. Interpelasi itu pertanyaan institusi, kalau angket itu sudah lebih maju lagi penyeldikan," jelasnya.
Lebih lanjut, menurutnya, laporan dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim konstitusi ini merupakan masalah serius.
Sehingga, DPR harus menggunakan fungsinya untuk mengawasi institusi peradilan konstitusional itu. Yakni melalui hak angket.
"DPR itu harus menggunakan funsginya untuk mengawasi, dengan menggunakan semua hak yang dia punya termasuk hak angket. Bagus-bagus aja karena ini maslaah serius," ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, Anggota DPR RI fraksi PDIP, Masinton Pasaribu menggalang dukungan dari fraksi lain di DPR untuk mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebab, syarat hak angket diusulkan paling sedikit oleh 25 orang anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi.
"Pokoknya besok (hari ini) saya coba lagi kontak lagi ke teman-teman ya lintas fraksi lah," kata Masinton di kompleks parlemen, Senayan, Selasa.
Masinton berharap fraksi-fraksi lain di DPR mendukung usulan hak angket terhadap lembaga penegak konstitusi itu.
"Kita harapkan beberapa teman-teman ya, mendukung usulan ini. Karena kita punya semangat yang sama untuk menegakkan konstitusi dan Undang-undang ini secara baik dan benar," ujarnya.
Menurutnya, semua lembaga negara yang melaksanakan undang-undang bisa menjadi objek angket.
"Iya kan. Kita kan tidak masuk kepada kewenangan yudisial-nya, gitu lho," ungkap Masinton.
Adapun usulan Masinton disampaikan dalam rapat paripurna yang digelar di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/10) kemarin.
Masinton menilai terjadi tragedi konstitusi setelah putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres dan cawapres.
"Tapi apa hari ini yang terjadi? Ini kita mengalami satu tragedi konstitusi pasca terbitnya putusan MK 16 Oktober lalu. Ya, itu adalah tirani konstitusi," kata Masinton.
Dia menegaskan konstitusi harus berdiri tegak, tidak boleh dipermainkan atas nama pragmatis politik sempit.
Masinton menjelaskan dirinya bersuara bukan atas kepentingan pasangan capres dan cawapres 2024.
"Tapi saya bicara tentang bagaimana kita bicara tentang bagaimana kita menjaga mandat konstitusi, menjaga mandat reformasi dan demokrasi ini," ucapnya.
Dia menambahkan putusan MK tersebut tidak berdasarkan kepentingan konstitusi, namun dianggap putusan kaum tirani.
"Putusan MK bukan lagi berdasar dan berlandas atas kepentingan konstitusi, putusan MK itu lebih pada putusan kaum tirani saudara-saudara. Maka kita harus mengajak secara sadar dan kita harus sadarkan bahwa konstitusi kita sedang diinjak-injak," jelas Masinton. (Tribun Network/Yuda).