Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Laporan dugaan pelanggaran Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan penggunaan Hak Angket DPR pasca-putusan Mahkamah Konstitusi terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto, dinilai ada pihak yang menunggangi.
Diketahui, laporan tersebut dilayangkan oleh tiga mantan aktivis prodemokrasi. Ketiga pelapor yakni mantan Sekjen Partai Rakyat Demokratik (PRD) Petrus Hariyanto, Firman Tendry Masengi dan Azwar Furgudyama. Ketiga mantan aktivis itu tergabung dalam Tim Pembela Demokrasi 2.0 (TPDI 2.0) yang diakomodir oleh kuasa hukum Patra M zein.
Merespons itu, Pakar Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto, mengatakan berbagai cara dilakukan agar Gibran tidak menjadi Cawapres melalui cara melaporkan KPU ke DKPP dan Hak Angket DPR.
"Menurut saya ini usaha para pihak yang mencari pintu untuk menggolkan keinginan, agar salah satu pasangannya tidak memenuhi syarat, sehingga tidak bisa menjadi salah satu capres/cawapres. Pintunya ada banyak kan (untuk mencari kesalahan), salah satunya ya DKPP. Mungkin bisa juga ke Bawaslu, pengadilan, MA (Mahkamah Agung), dan lain-lain," kata Agus kepada wartawan, Sabtu (25/11/2023).
Menurut dia, KPU tidak bisa disalahkan dalam penetapan Gibran sebagai cawapres Prabowo.
KPU merupakan sebuah lembaga negara yang tunduk pada Undang-Undang yang berlaku.
Pada penetapan Gibran sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) Prabowo Subianto tidak ada yang salah, karena pada penetapan Gibran KPU sudah seusia dengan koridor yang berlaku dalam hal ini PKPU pasca putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Menurut saya, KPU itu pelaksana peraturan perundang-undangan, penyelenggara pemilu dan tidak dalam ranah pembuat peraturan. PKPU yang dibuat KPU itu merespons dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang membuat norma baru, yakni boleh kurang dari 40 tahun sepanjang dia pernah menduduki jabatan politik yang dipilih secara election menjadi kepala daerah. Norma ini kemudian dimasukkan ke PKPU karena norma lama kan tidak ada," ujarnya.
Baca juga: Penolakan Politik Dinasti Terus Bergulir, Keputusan MK Dinilai Upaya Mengakali Konstitusi
Dia menjelaskan, KPU dalam hal ini harus mengikuti putusan MK yang sudah final. Sehingga KPU menggunakan PKPU baru pascaputusan MK dalam penetapan Gibran sebagai Cawapres Prabowo.
"Pertanyaannya kalau itu bagian dari tugas KPU, KPU ya gak salah membuat norma itu karena memang putusan MK itu final and binding. Oleh karena itu, penyelenggara negara dalam hal ini KPU harus mengikuti keputusan MK tersebut, mengubah PKPU lama," jelasnya.
"Intinya UU Pemilu Pasal 169 huruf q diubah oleh MK. Berarti, pasal itu tidak berlaku lagi. Ada norma baru. Di sini, KPU tidak menciptakan norma tapi menulis norma yang telah dibuat oleh MK," ujar dia.
Namun, Agus tidak menampik kemungkinan ada permasalahan etik dan konflik kepentingan dalam putusan MK dan dibenarkan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Kendati demikian, sambug dia, MKMK tidakk pernah membatalkan hasil putusan MK terkait usia capres dan cawapres.