Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK) Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang baru diketok, Rabu (29/11/2023).
Dalam putusan itu, MK menolak gugatan terkait dengan putusan MK sebelumnya nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman menjabat sebagai kepala daerah.
Dengan adanya putusan nomor 141/PUU-XXI/2023 itu maka kata Ketua Koordinator Strategis TKN Prabowo-Gibran, Sufmi Dasco Ahmad semakin menegaskan maju Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.
Baca juga: MK Tolak Uji Ulang Batas Usia Capres-Cawapres, TKN: Makin Terang Anwar Usman Korban Kambing Hitam
"Jadi sekali lagi kita tegaskan bahwa dengan ada putusan (nomor) 141, artinya juga menyatakan bahwa putusan (nomor) 90 tidak ada masalah," kata Dasco saat jumpa pers di Media Center TKN Prabowo-Gibran, Jalan Sriwijaya, Jakarta, Kamis (30/11/2023).
Tak hanya itu, Dasco juga menyebut, dengan adanya putusan tersebut maka majunya Gibran sebagai cawapres tidak ada istilah cacat hukum.
Terlebih, putusan itu diperkuat dengan tidak adanya perbedaan pendapat atau dissenting opinion oleh delapan hakim konstitusi yang menyidangkan perkara.
"Tidak ada cacat hukum, tidak ada cacat etika, tidak ada intervensi, dan artinya juga tidak ada hakim-hakim yang memutuskan di 90 menyatakan berduka, di 141 ya udah enggak berduka, gitu loh," kata dia.
Baca juga: Ditolak MK, Penggugat Batas Usia Capres-Cawapres dari Unusia Khawatir Ada Dualisme Hukum
"Karena ini putusan sama-sama, diputuskan sama-sama tanpa dissenting," sambungnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran Habiburokhman yang menyatakan, dengan adanya putusan nomor 141 ini maka putusan MK nomor 90 telah bulat.
Dengan begitu, kata dia juga tidak ada lagi permasalahan yang meski dipersoalkan dalam majunya Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi Pilpres 2024.
"Sehingga sudah, kita jangan lagi praktekkan politik fitnah, politik framing hitam, kita kedepankan tadi seperti kata Pak Darco, kita kontestasi gagasan, kita kontestasi visi misi, program-program, rekam jejak, dan satu lagi kita masing-masing," tukas Habiburokhman.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji ulang syarat batas minimal usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana.
Hal itu dinyatakan dalam sidang pembacaan putusan Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023, di ruang sidang gedung MK RI, pada Rabu (29/11/2023).
Brahma, selaku pemohon memohonkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sebelumnya berubah oleh Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan, Putusan 90 tersebut secara hukum telah berlaku sejak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Sehingga seperti putusan MK lainnya, bersifat final dan mengikat.
"Jika dikaitkan dengan ketentuan norma Pasal 10 dan Pasal 47 UU MK serta Pasal 77 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021, maka Mahkamah berpendapat Putusan a quo adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final," kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dalam persidangan, Rabu (29/11/2023).
"Terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum. Hal tersebut dikarenakan, Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan konstitusi di Indonesia tidak mengenal adanya sistem stelsel berjenjang yang mengandung esensi adanya peradilan secara bertingkat yang masing-masing mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi oleh badan peradilan di atasnya terhadap putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah sebagai bentuk 'upaya hukum'," sambungnya.
Mahkamah juga menyatakan, adanya pelanggaran etik berat yang melibatkan mantan Ketua MK Anwar Usman dalam perumusan Putusan 90 tak serta-merta membuat putusan tersebut dapat disidangkan ulang dengan majelis hukum yang berbeda, sebagaimana ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
MK menilai UU Kekuasaan Kehakiman sebagai undang-undang yang sifatnya lebih umum daripada UU MK yang menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
Sebagaimana asas hukum lex specialis derogate lex generali, maka beleid yang bersifat khusus akan mengesampingkan beleid yang sifatnya umum.
"Pembentukan majelis yang berbeda untuk memeriksa kembali perkara sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 17 ayat (7) UU 48/2009 tidak mungkin dapat diterapkan di Mahkamah Konstitusi," ucap Enny Nurbaningsih.
"Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, di dalam mempertimbangkan dalil permohonan pemohon, khususnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon, Mahkamah lebih menekankan dengan bertumpu pada UU MK yang bersifat khusus," tuturnya.
Selain itu, MK kemudian menyinggung kembali putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) terhadap Hakim Konstitusi Anwar Usman. Adapun pada Pasal 358, pada intinya menegaskan bahwa meskipun terdapat pelanggaran etika berat di dalamnya, Putusan 90 telah berkekuatan hukum tetap sesuai prosedur.
Dalam sidang putusan Perkara 141/PUU-XXI/2023, Hakim Konstitusi Ketua MK Anwar Usman tak dilibatkan mengadili perkara dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Hal itu sesuai permohonan Pemohon dan amanat putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konsitusi (MKMK), pada 7 November lalu.
Dalam petitum, Brahma meminta agar syarat usia minimum capres-cawapres berbunyi "40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah pada tingkat provinsi yakni gubernur dan/atau wakil gubernur".
Brahma menyoroti, dalam perumusan Putusan 90 /PUU-XXI/2023, 5 hakim konstitusi yang menyetujui pengubahan syarat usia minimal capres-cawapres tak bulat pandangannya.
Dari 5 hakim, hanya 3 hakim yakni Anwar Usman, Manahan Sitompul, Guntur Hamzah yang sepakat bahwa anggota legislatif atau kepala daerah tingkat apa pun, termasuk gubernur, berhak maju sebagai capres-cawapres.
Namun, 2 hakim lainnya, Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh sepakat hanya kepala daerah setingkat gubernur yang berhak maju sebagai capres-cawapres.
Brahma menilai, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan pemaknaan.
Sebab, jika dibaca secara utuh, hanya jabatan gubernur saja yang bulat disepakati 5 hakim tersebut untuk bisa maju sebagai capres-cawapres.
"Yang setuju pada tingkat di bawah gubernur hanya 3 hakim konstitusi, sementara yang setuju pada tingkat gubernur 5 hakim konstitusi," kata Brahma.
Brahma menekankan, frasa baru dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu seharusnya inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim dari 5 suara hakim yang dibutuhkan.
Di sisi lain, melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023 yang terbit pada 16 Oktober 2023 itu, keponakan Anwar sekaligus putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka (36), berhasil maju di Pilpres 2024 dengan berbekal status Wali Kota Solo yang baru dijabatnya selama 3 tahun.
Gibran disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto, pada 22 Oktober. Keduanya telah ditetapkan sebagai capres-cawapres dan mendapat nomor urut 2 dari KPU RI, pada tanggal 13-14 November 2023.
Baca juga: Putusan MK tentang Batas Minimal Usia Cawapres Dinilai Puncak Praktik Politik Dinasti di Indonesia
Catatan Kuasa Hukum Pemohon
Kuasa hukum Pemohon Perkara 141/PUU-XXI/2023, Viktor Santoso Tandiasa menyampaikan beberapa catatan terkait gugatannya yang ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
Viktor menilai, Putusan 141 tersebut nantinya akan menimbulkan persoalan.
Sebab, ia mengatakan, MK melalui Putusan 141 yang diajukan pihaknya itu mengakui Pasal 17 ayat (5) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman itu bisa diterapkan ke MK. Sedangkan, Pasal 17 ayat (6) dan (7) tidak bisa.
Adapun Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pokoknya mengatur, sebagai berikut:
"Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara," demikian bunyi Pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 17 ayat (6) UU 48/2009 pada pokoknya mengatur, "dalam hal terjadi pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) putusan dinyatakan tidak sah"
"Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda" bunyi Pasal 17 ayat (7).
"Artinya kalau ada hakim yang punya konflik kepentingan harus mengundurkan diri, tapi itu kemudian dibiarkan artinya dimaklumi, atau bahkan dianggap biasa, karena putusan MK sifatnya final dan mengikat," ucap Viktor, saat ditemui usai sidang pembacaam putusan di gedug MK RI, Jakarta Pusat, pada Rabu (29/11/2023).
Viktor mempertanyakan, bagaimana MK dapat meyakinkan independensinya nanti saat memutus perkara hasil pemilihan umum (PHPU) 2024.
"Apakah kemudian ini (konflik kepentingan hakim) akan dibiarkan juga terjadi pelanggaran-pelanggaran seperti itu, sehingga menjadi khawatir karena nanti MK bisa menempatkan diri pada kecurangan yang bersifat TSM, terstruktur, sistematis dan masif yang sebelumnya berlaku hanya ke KPU, ini juga nanti bisa dikaitkan bisa juga untuk MK, karena ini sifatnya terstruktur," ungkap Viktor.
Tak hanya itu, Viktor menjelaskan, dalam Putusan 141 ini, MK telah mengakui bahwa Putusan 90/PUU-XXI/2023 keliru, karena untuk tingkat wali kota jenjangnya masih sangat jauh dari presiden.
Terkait hal itu, ia mengaku khawatir dan semakin meyakinkan bahwa dugaan Putusan 90 itu untuk memuluskan salah satu pihak untuk maju di Pilpres 2024.
"Itu diakui oleh MK (kekeliruan Putusan 90) tapi kemudian dilempar ke pembentuk undang-undang. Nah, ini saya khawatir pertimbangan hukum ini malah semakin meyakinkan masyarakat bahwa putusan 90 hanya untuk calon yang berkepentingan," tuturnya.
Lebih lanjut, Viktor mengatakan, pihaknya tetap menghargai putusan 141 itu. Meski demikian, ia juga menyayangkan adanya beberapa catatan yang dijelaskannya itu.
"Sehingga bagi kami ini belum menyelesaikan persoalan pemilu. Karena Sebenarnya putusan ini bisa menjadi penyelesaian yang bisa menguatkan legitimasi pemilu kedepan," ucapnya.
"Tapi dengan adanya pertimbangan hukum seperti ini, kami malah khawatir nanti ini makna menjadi bola liar lagi dalam hal perdebatan-perdebatan politik yang bisa mempengaruhi penyelesaian pemilihan umum." (*)