Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya indikasi dana kampanye Pemilu 2024 yang berasal dari sumber ilegal.
Termasuk di antaranya dari hasil kejahatan lingkungan, khususnya illegal mining atau pertambangan ilegal.
"Kita kan pernah sampaikan indikasi dari illegal mining," ujar Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, Kamis (14/12/2023) saat menjawab pertanyaan awak media mengenai sumber dana kampanye yang ditemukan PPATK.
Baca juga: Sudirman Said Ungkap Sumber Dana Kampanye Anies Baswedan-Cak Imin di Pilpres 2024
Tak hanya illegal mining, PPATK juga menemuan indikasi dana kampanye yang bersumber dari tindak pidana lain. Namun tak dibeberkan lebih lanjut mengenai tindak pidana yang dimaksud.
Sedangkan sumber dana yang berasal kejahatan lingkungan, termasuk illegal mining, PPATK telah menyerahkan data-datanya kepada penegak hukum.
"Banyak ya kita lihat semua tindak pidana. Yang kejahatan lingkungan sudah ada di penegak hukum. Sudah ada di teman-teman penyidik," kata Ivan.
Terkait dana kampanye sendiri, PPATK menemukan adanya peningkatkan transaksi janggal mencapai lebih dari 100 persen.
"Kita menemukan memang peningkatan yang masif dari transaksi mencurigakan. Kenaikan lebih dari 100 persen," ujar Ivan.
Transaksi janggal itu ditemukan lantaran rekening khusus dana kampanye (RKDK) yang tak bertambah maupun berkurang. Padahal RKDK digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan kampanye.
Aktivitas pembiayaan kegiatan kampanye justru terlihat dari rekening-rekening lain.
"Rekening khusus dana kampanye untuk membiayai kegiatan kampanye politik itu cenderung flat kan, cenderung tidak bergerak transaksinya. Yang bergerak ini justru di pihak-pihak lainnya," kata Ivan.
Baca juga: Kronologi Caleg DPRD DKI Tertipu Iming-iming Dana Kampanye Rp 30 Miliar
Sejauh ini, tracing atau pelacakan sudah dilakukan PPATK terkait dana kampanye Pemilu 2024. Termasuk di antaranya yang berkaitan dengan kegiatan kampanye capres-cawapres dan partai politik.
Data-data transaksi mencurigakan pun sudah diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu).