Bawaslu dalam hal ini juga bekerja sama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Baca juga: Dugaan Pelanggaran Pemilu Ajudan Prabowo, Kapuspen TNI: Kehadirannya Tak Mewakili Institusi TNI
Bawaslu enggan menjawab ketika ditanya lebih lanjut perihal dalam aliran dana itu terkait partai-partai politik besar atau tidak.
Sebab, Bawaslu harus mematangkan segala informasi yang tengah mereka kaji hingga saat ini.
“Nanti ya kalau itu jangan dipancing-pancing, karena informasi yang setengah matang disampaikan itu enggak boleh, nanti yang terjadi malah kegaduhan. Bersabar sebentar karena ini hal yang perlu kehati-hatian untuk Bawaslu sampaikan,” kata Lolly.
KPU Enggan Tindaklanjuti
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tak bisa berkomentar lebih lanjut soal laporan dana mencurigakan yang disampaikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Anggota KPU RI Idham Holik menjelaskan, pihaknya tak dapat menindaklanjuti laporan itu karena data yang diberikan oleh PPATK bersifat umum.
Dalam rapat koordinasi selanjutnya dengan parpol atau peserta pemilu, KPU berjanji akan mengingatkan kembali soal batasan maksimal sumbangan dana kampanye dan pelarangan menerima sumbangan dana kampanye dari sumber-sumber yang dilarang.
"Terkait transaksi ratusan miliar tersebut, bahkan transaksi tersebut bernilai lebih dari setengah triliun rupiah, PPATK tidak merinci sumber dan penerima transaksi keuangan tersebut," kata dia Holik saat dikonfirmasi pada Senin (18/12/2023).
"Data hanya diberikan dalam bentuk data global, tidak terperinci, hanya berupa jumlah total data transaksi keuangan perbankan. Jadi dengan demikian, KPU pun tidak bisa memberikan komentar lebih lanjut," sambung dia.
KPU telah menerima surat dari PPATK soal data dana tersenut pada 12 Desember 2023.
Dalam surat itu PPTAK menjelaskan, ada rekening bendahara parpol pada periode April-Oktober 2023 terjadi transaksi uang, baik masuk ataupun keluar, dalam jumlah ratusan miliar piah.
PPATK menjelaskan, transaksi keuangan tersebut berpotensi akan digunakan untuk penggalangan suara yang akan merusak demokrasi Indonesia.