TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPR RI, Puan Maharani, menanggapi mengenai wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Puan mengatakan, aspirasi mengenai pemakzulan Presiden Jokowi itu tetap diterima.
Namun, ia mempertanyakan terkait urgensinya.
Pasalnnya, ditegaskan Puan, pemakzulan itu bisa dilakukan, apabila Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum.
"Ya aspirasi itu boleh saja diberikan atau disampaikan, namun apa urgensinya. Jadi kita lihat apa urgensi. Namun namanya aspirasi tetap harus kami terima," ujarnya, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/1/2024).
"Untuk pelaksanaan hal tersebut, harus terbukti bahwa kemudian presiden itu melaksanakan pelanggaran hukum dan lain sebagainya," kata Puan.
Adapun, isu pemakzulan Jokowi ini kembali mencuat menjelang Pilpres 2024.
Wacana pemakzulan itu pertama kali dilontarkan oleh gerakan Petisi 100 yang mengirimkan surat kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD.
Lalu, seperti apakah pandangan dari pakar hukum mengenai pemakzulan Presiden Jokowi tersebut?
Pendapat Pakar Hukum
Tiga pakar hukum tata negara angkat bicara untuk menanggapi wacana pemakzulan Presiden Jokowi tersebut.
Baca juga: Sejumlah Tokoh Dorong Pemakzulan Presiden Jokowi, FX Rudy: Itu Hak Aktivis
Ketiga pakar hukum tata negara ini adalah Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, dan Yusril Ihza Mahendra yang kini bergabung di Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
Menurut Zainal, pemakzulan Jokowi itu tidak mudah dilakukan karena membutuhkan proses panjang.
Pemakzulan harus melewati proses yang tidak sederhana, mulai dari penentuan alasan pemberhentian presiden, hingga proses panjang yang harus dilewati.
“Jadi secara substansi [alasan pemakzulan] bukan hal sederhana, dan secara proses lebih tidak sederhana lagi, karena harus ke DPR, MK, dan MPR,” kata Zainal, Kamis (11/1/2024).