Namun, pada akhir pekan kedua demo dilakukan, para demonstran mulai memperoleh kekerasan dari aparat.
Para polisi di ibu kota Prancis, Paris sampai menggunakan gas air mata, meriam air atau water canon, dan pasukan berkuda untuk menghalau demonstran.
Akibatnya, para demonstran pun melakukan aksi anarkis dengan melempar proyektil, membakar mobil di jalan, dan menjarah pertokoan.
Bahkan, kericuhan pada pekan kedua ini merupakan bentrok terparah yang pernah terjadi di Paris sejak kerusuhan mahasiswa pada tahun 1968.
Adapun insiden kericuhan ini dilaporkan mengakibatkan 12 orang meninggal dunia.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Prancis, Bruno Le Maire mengatakan aksi massa selama hampir tiga bulan ini memukul ekonomi di Prancis secara keseluruhan, dikutip dari Aljazeera.
“Beberapa keuntungan di beberapa sektor ekonomi anjlok antara 15-50 persen,” katanya tanpa menjelaskan lebih lanjut terkait persisnya.
“Dampak ini akan terus terjadi,” sambung Le Maire saat itu.
Tak sampai di situ, perusakan oleh massa pun turut mengakibatkan 75 SPBU di Paris mengalami keterlambatan penyaluran BBM lantaran diblokade oleh demonstran.
Akibatnya, salah satu perusahaan minyak Prancis, Total mengaku mengalami kerugian operasional mencapai 453 juta dolar AS.
Pemerintah Prancis Tunda 6 Bulan Naikan Pajak BBM
Demonstrasi besar-besaran ini menyebabkan Pemerintah Prancis menunda untuk menaikan pajak BBM pada 1 Januari 2019 dalam jangka waktu enam bulan.
Tak hanya itu, pemerintah Prancis juga melakukan penundaan untuk menaikan harga LPG dan listrik selama tiga bulan.
Kemudian, tingkat kepuasan pemerintahan Macron pun mencapai titik terendah akibat rencana kebijakannya untuk menaikan pajak BBM tersebut, menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Paris Match dan Sud Radio.
“Tingkat kepuasan terhadap Macron turun menjadi 23 persen dalam jajak pendapat yang dilakukan pekan lalu, turun enam poin dari bulan sebelumnya,” demikian temuan dari lembaga tersebut.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Pilpres 2024