TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan presiden atau menteri bisa berkampanye dalam pemilihan umum (Pemilu), menimbulkan polemik.
Pernyataan itu dinilai sebagian pihak menjadi afirmasi keberpihakannya terhadap pasangan Prabowo-Gibran.
Berbicara di Lanud Halim PK, kemarin, Jokowi mengatakan aktivitas yang dilakukan menteri-menteri dari bidang non politik itu merupakan hak demokrasi.
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja," ujar Jokowi saat memberikan keterangan pers di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu.
"Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. (Jadi) boleh (presiden kampanye)," katanya.
Gaya berpolitik di penghujung masa jabatan Jokowi oleh sebagian pihak disebut kontras jika dibandingkan SBY.
Mereka yang mengkritik Jokowi menyatakan, menjelang Pilpres 2014, Presiden SBY tidak pernah memberi sinyal endorsement terhadap Hatta Rajasa yang menjadi Cawapres Prabowo.
Padahal relasi antara SBY dan Hatta lebih dari sekedar politis dan profesional di kabinet, namun juga menjadi besan SBY.
Saat itu komunikasi politik SBY lebih terfokus untuk menjamin penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014 aman, damai, jujur dan adil.
Salah satu upaya SBY untuk mendukung kesuksesan pesta demokrasi 2014 adalah dengan menggelar Forum Commander’s Call untuk menegaskan netralitas TNI dan Polri.
Sedangkan Jokowi di sisi lain, dinilai tidak netral, mulai dari keikutsertaan putranya sebagai cawapres hingga berubahnya aturan batas umur cawapres di MK, yang di-gawangi- adik iparnya, Anwar Usman, yang ketika itu ikut memutuskan dalam sidang.
Harus diakui, Jokowi di akhirnya masa jabatannya memiliki "modal" dengan tingginya kepuasan publik terhadap kinerjanya.
Hal ini dinilai banyak pihak menjadi modal kepercayaan diri untuk "cawe-cawe" di pilpres 2024.
Misalnya saja, Lembaga Indikator Politik Indonesia merilis survei kepuasan publik atas kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) meningkat menjadi 79,3 persen.
Survei yang dilakukan usai debat ketiga pilpres yakni periode 10-16 Januari 2024. Survei melibatkan 1.200 orang dari seluruh provinsi Indonesia.
Survei dilakukan dengan metode wawancara tatap muka. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode multistage random sampling dengan toleransi kesalahan sekitar 2,9 % dan tingkat kepercayaan 95%.
Peneliti Utama Indikator Hendro Prasetyo mengatakan dari total 1.200 responden tersebut sebanyak 16,3% menyatakan sangat puas sementara cukup puas 62,5%.
"16,3% mengatakan sangat puas, 62,5% merasa cukup puas, kalau digabungkan 79,3%. Sedangkan yang merasa kurang puas ada 17,2% dan tidak puas sama sekali 2,4%, mereka yang tidak jawab sedikit sekali yakni 1,1%," kata Hendro dalam rilis yang digelar virtual, Sabtu (20/1/2024).
Sementara untuk SBY, sebenarnya tingkat kepuasan masyarakat pada pemerintahannya pernah sampai ke angka 85 persen pada Juli 2009.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan era Jokowi.
Hanya saja tingkat kepuasan SBY pernah anjlok hingga angka 45 persen pada Juli 2008 dan cenderung menurun pada periode kedua jabatannya.
Angka kepuasan pada kinerja SBY berada di rentang 45-85 persen dengan tingkat kepuasan mayoritas berada di rentang 50-60 persen.
Ada beberapa faktor yang dinilai jadi andil anjloknya tingkat kepuasan terhadap SBY di akhir masa jabatannya, seperti kasus korupsi proyek Hambalang yang turut menyandung Ketua Umum Partai Demokrat pada saat itu hingga kasus Bank Century.
Maruf Amin Pilih Netral
Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin memberikan tanggapan soal polemik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut presiden boleh ikut berkampanye dan memihak salah satu paslon dalam Pemilu.
Menanggapi polemik pernyataan Jokowi ini, Ma'ruf Amin mengaku akan bersikap netral.
Terkait siapa pilihannya nanti dalam Pilpres 2024, Ma'ruf Amin menegaskan tak ada yang boleh mengetahuinya.
Yang jelas siapa pilihan Ma'ruf nanti akan dituangkannya saat pencoblosan pada 14 Februari 2024 mendatang.
Lebih lanjut Ma'ruf menuturkan, secara aturan memang diperbolehkan untuk presiden ikut berkampanye.
Terkait setuju atau tidaknya akan hal tersebut, Ma'ruf Amin memilih untuk menyerahkan itu semua pada publik.
"Saya kira soal (pernyataan) presiden, saya kira sudah jelas ya."
"Aturannya boleh. Ada yang tidak setuju, ada yang setuju. Nah silakan saja nanti urusannya itu publik saja," kata Ma'ruf, dilansir WartakotaLive.com, Kamis (25/1/2024).
Namun Ma'ruf menekankan bahwa sejak awal dirinya memilih bersikap netral dan tidak memihak paslon manapun.
"Tapi saya, sudah, sejak awal sudah memposisikan diri untuk bersikap netral, tidak memihak. Saya bilang saya netral."
"Perkara nanti pilihan saya, saya akan tuangkan nanti saja pada waktu tanggal 14 Februari dan tidak boleh ada yang tahu," imbuh Ma'ruf.