TRIBUNNEWS.COM - Guntur Soekarnoputra, sulung Proklamator Soekarno atau Bung Karno, kini menjadi sorotan.
Pernyataannya menyebut nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kampanye pemenangan pasangan calon presiden-wakil presiden Ganjar Pranowo-Mahfud MD menjadi perbincangan.
Saat itu dalam acara yang bertajuk Rock and Roll Day’s, di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (29/1/2024), Guntur ingin para relawan memenangkan Ganjar-Mahfud pada Pilpres 2024.
Kakak kandung Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri itu juga menyinggung sikap partai jika Ganjar-Mahfud terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.
Yakni untuk menentukan langkah politik selanjutnya kepada Jokowi.
"Kalau itu sudah tercapai kekuasaan dan dan hak prerogatif ada di Ganjar dan Mahfud MD, baru yang lain mau kita apa-apain gampang, termasuk Jokowi mau kita apain, nantilah," ujar Guntur yang disambut riuh para relawan.
Lantas hal ini mendapat tanggapan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk dari tim pemenangan pasangan calon nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
Sikap Guntur kali ini berbeda dengan sikap politiknya pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Guntur yang merupakan putra sulung Bung Karno ini dikenal tak ingin berpolitik, bahkan menjadi presiden pun ia tak mau.
Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Tribunnews, Guntur mengungkap pesan ayahnya.
Bung Karno disebutnya tak ingin Guntur menjadi presiden.
Baca juga: Profil Guntur Soekarnoputra, Beri Pernyataan Miring ke Presiden, Sempat Usul Jokowi jadi Ketum PDIP
Menurut Guntur, Bung Karno mengetahui betul wataknya. Ia pernah didoakan ayahnya agar tak menjadi presiden.
"Bapak itu sudah tahu gimana watak saya. Jadi, jauh hari sebelumnya Bapak sudah ngomong, 'saya tuh berdoa ke Tuhan Yang Maha Esa supaya si Guntur ini jangan jadi presiden lah'. Karena Bapak tahu watak saya," kata Guntur, saat sesi wawancara khusus di Kantor Tribunnews.com, Jakarta, Selasa (30/8/2022).
Guntur mengaku sebagai anak presiden tak mau dikawal atau berpakaian seperti harus mengenakan dasi.
"Saya tuh paling enggak senang ada protokoler, ada pengawalan yah macam-macam, jemput tamu negara mesti pake lengkap, dasi apa segala macam," ujarnya.
Bahkan saat menjalani pendidikan sekolah menengah atas (SMA), Guntur meminta ke Bung Karno agar tak perlu dikawal-kawal lagi.
"Saya bilang sama Bapak waktu saya lulus SMA. Saya enggak berani saya bilang sama Bapak pasti marah. Saya bilang ke Ibu, Bu aku sudah SMA, aku udah nggak mau dikawal-kawal lagi. Tolong sampaikan ke Bapak, Ibu sampaikan," ucapnya.
Permintaan Guntur pun tak serta merta dikabulkan sang proklamator kemerdekaan Indonesia itu.
"Bapak jawabannya waktu itu, 'nanti akan dipikirkan'," ungkapnya.
Guntur menuturkan melalui proses yang panjang hingga akhirnya Bung Karno mengabulkan permintaannya agar tak dikawal.
Akhirnya, Guntur tak dikawal lagi sejak menempuh pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB).
"Saya di Bandung sudah enggak ada yang ngawal," imbuhnya.
Alasan Tak Masuk Parpol
Sementara di sebuah podcast YouTube channel B1 Plus, Guntur pernah menjelaskan alasannya tak ingin menjadi anggota partai politik.
Video Apa Adanya Podcast yang tayang pada 28 Oktober 2021 ini berisi wawancara dengan Guntur, termasuk ,membahas soal partai politik.
Guntur mengaku, kebijakan fusi partai yang dilakukan oleh Presiden Soeharto saat itu yang menjadi penyebab dirinya mundur dari kegiatan partai politik.
Ia bercerita, mengalami pergolakan dengan internal partai saat menjabat Juru Kampanye Nasional Partai Nasional Indonesia - Front Marhaenis (PNI-FM) waktu itu.
Lantaran internal partai tetap ingin mematuhi aturan dengan menyetujui fusi partai seperti yang telah diatur era Soeharto, Guntur memilih mundur.
Dirinya dengan tegas tak ingin bergabung dengan partai manapun, termasuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Berikut pernyataan lengkap Guntur dalam Podcast Apa Adanya:
Baca juga: Pengamat Soroti Pernyataan Guntur soal Jokowi, Sebut Sebagai Serangan PDIP: Presiden Bisa Marah
"Saya ini sejak dulu waktu era orde baru, waktu ada rencana akan ada fusi partai, saya kebetulan waktu itu jurkamnas PNI- Front Marhaenis, saya tidak setuju dengan adanya fusi, jadi sebaiknya PNI-Front Marhaenis tidak usah ikut-ikut fusi lahm" jelasnya.
"Tapi rupanya DPP PNI-Front Marhaenis waktu itu bilang, 'waduh kalau kita ga ngikutin policy-nya Pak Harto untuk fusi, salah-salah kita dibubarkan'. Terus saya bilang 'bubarin ya bubarin aja pak, kenapa, di Pemilu 71 kita masih bisa meraih suara 3 juta konkrit'."
"Tapi saya sudah mengatakan gitu masih saja tetap aja ga berani, kemudian saya mnenyatakan kalau begitu saya tidak gabung partai apapun, termasuk PDI,
dan sampai sekarang pun setelah berubah menjadi PDI Perjuangan saya berada di luar," ucap Guntur.
"Tapi bukan berarti saya tidak berpolitik, yang betul saya tidak masuk partai politik. Dan saya menyalurkan aspirasi politik saya melalui tulisan, artikel, pidato dan lain sebagainya."
Tentang Fusi Partai Era Soeharto
Pada artikel laman Repository Universitas Jember, tertulis mengenai sejarah Fusi Partai yang digaungkan zaman Soeharto.
Isinya yakni menerangkan sejarah fusi partai dan seluk beluknya, yakni:
"Orde Baru lahir sebagai koreksi total dari pemerintahan sebelumnya dimana keadaan politik yang tidak stabil menyebabkan kehancuran dalam bidang ekonomi.
Selanjutnya pemerintah Orde Baru menciptakan sebuah format politik dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas nasional, baik dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi.
Berdasarkan hal inilah penulis ingin mengkaji permasalahan (1) format politik Orde Baru, (2) pengendalian kehidupan politik nasional, (3) dampak Fusi terhadap dinamika partai politik setelah pemilu 1977.
Tujuannya adalah (1) mendeskripsikan format politik Orde Baru, (2) menganalisis pengendalian kehidupan politik nasional, (3) menganalisis dampak Fusi terhadap kehidupan partai politik setelah pemilu 1977.
Penelitian ini menggunakan pendekatan pembuatan kebijakan yang diambil dari Harold D. Lasswell dan Richard C. Snyder.
Sedangkan teorinya adalah teori elit yang di ambil dari pendapat Pareto dan Roberto Michels.
Penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa format politik Orde Baru dibuat untuk menciptakan stabilitas nasional.
Namun pada kenyataanya semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan.
Posisi dominan ABRI dan DPR tidak lebih sebagai alat perpanjangan tangan penguasa dan alat legitimasi kebijakan.
Sementara itu pengendalian kehidupan politik yang salah satunya melalui Fusi justru menimbulkan dampak baru yaitu konflik dalam tubuh partai politik baik secara intern maupun ekstern.
Ditambah lagi dengan dikeluarkannya UU. RI. No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dimana partai politik tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.
Kesimpulan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru membentuk format politik yang pada awalnya sebagai koreksi total terhadap pemerintahan sebelumnya.
Namun dalam perkembangannya justru format politik tersebut merupakan langkah awal pemerintahan Suharto untuk mempertahankan kekuasaan.
Salah satunya melalui fusi terhadap partai politik yang menimbulkan konflik baru diantara unsur yang ada dalam partai.
Berdasarkan hal tersebut maka diharapkan bahwa proses demokrasi harus berjalan sesuai dengan aturan dimana pemerintah dituntut untuk bersikap netral tanpa memihak kepetingan salah satu golongan.
Sedangkan untuk partai politik diharapkan dapat menjalankan fungsi dan menghindari terjadinya konflik."
(Tribunnews.com/Chrysnha)