TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dugaan penyalahgunaan penyaluran bantuan sosial (bansos) oleh pemerintah untuk kepentingan politik tertentu, dinilai bukan hanya sebagai tindakan pembodohan atau pembohongan publik, tapi sudah masuk kategori manipulasi tanpa etika.
Hal tersebut ditegaskan oleh Pengamat Kebijakan Publik, Yanuar Nugroho, dalam diskusi media Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud bertajuk “Gerakan Intelektual Kampus dan Netralitas Presiden beserta Aparatur Negara dalam Pemilu 2024” di Jakarta, Senin (5/2/2024).
“Apa yang dilanggar di sana, menurut saya itu yang mendasar, kemarin sampai sekarang masih ramai soal bansos, ini bukan hanya pembodohan dan pembohongan publik. Tapi ini manipulasi tanpa etika,” katanya.
Menurut Yanuar, orang-orang miskin sangat tergantung dengan bansos.
Baca juga: Bahlil Respons Kritik Ahok Soal Bansos: Tidak Merepresentasikan Rakyat Kecil
Kemudian secara teknis di tataran bawah, narasi penyaluran bansos dibuat identik atau diasosiasikan dengan pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden tertentu, yang jika tidak menang program pemerintah yang disetujui DPR RI tersebut akan berhenti.
“Artinya apa, kena ke hidup mereka. Bagi orang miskin itu (pernyataan bansos berhenti) masuk ke alam bawah sadar,” tegasnya.
Dukung Protes Civitas Akademika
Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang mendorong civitas akademika dari sejumlah universitas di Tanah Air melakukan aksi protes. Menyampaikan kerisauannya atas pelanggaran etika dan moral dalam dunia politik di Tanah Air.
Jadi ketika dunia kampus turun menyampaikan rasa gelisahnya sebagai respon atas fenomena politik di Indonesia, lanjut Yanuar, hal itu memang sudah layak dilakukan dan disuarakan.
Menurutnya, tindakan penyalahgunaan penyaluran bansos tersebut adalah kesewenang-wenangan menggunakan power untuk membunuh demokrasi dengan dalih demokrasi.
Yanuar pun mengutip filsuf Italia, Antonio Gramsci yang mengatakan bahwa ada dua jenis intelektual. Pertama adalah intelektual tradisional, biasanya tinggal di menara gading, terdidik, tidak mau menyatu dengan warganya/publik.
Intelektual seperti ini biasanya akan tercerabut, karena tidak merasakan suka duka, keprihatinan dan kegembiraan masyarakatnya. Gramsci menegaskan intelektual seperti ini minim kontribusinya terhadap perubahan sosial.
Yang kedua adalah intelektual organik. Di mana intelektual tersebut adalah kaum terdidik tapi menyatu dengan publik, dan menjadi bagian dari perubahan. “Kalau kampus-kampus turun, ya memang harus turun, jangan jadi intelektual menara gading,” ujar Yanuar.
Pada kesempatan itu, Yanuar menyampaikan, bahwa kesetiaan itu harus ada pada gagasan bernegara. Sebab, Indonesia adalah gagasan untuk membentuk tempat hidup. Gagasan bernama Indonesia menurut dia, seharusnya dilindungi, dibangun dengan demokrasi, dan ketika dirusak maka kita harus melawan.
“Bagi saya sejelas itu. Yang terjadi sekarang ini adalah rangkaian dari pelanggaran atau penyelewenangan-penyelewengan etika dan moral,” imbuhnya