TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua pekan terakhir, sivitas akademika yang mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kondisi demokrasi di Indonesia di tengah masa Pemilihan Umum (Pemilu 2024), termasuk netralitas presiden dan aparatur negara, terus bermunculan.
Mereka menyampaikan kritik tersebut melalui pernyataan sikap hingga petisi di perguruan tinggi masing-masing.
Atas langkah kritik para sivitas akademika itu, Presiden Jokowi menanggapinya sebagai hak demokrasi dan perlu dihargai.
"Itu hak demokrasi harus kita hargai ya," kata Jokowi di sela kunjungan kerjanya di Jawa Barat, Sabtu (3/2/2024).
Kondisi demokrasi yang tidak baik-baik saja kembali dikuatkan dengan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menjatuhkan sanksi keras kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari.
Sanksi dijatuhkan karena orang nomor satu KPU itu karena terbukti pelanggaran etik, yaitu meloloskan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) untuk mengikuti tahapan Pemilu 2024.
Putusan itu dijatuhkan berdasarkan gugatan sejumlah aktivis 98,’ di antaranya Petrus Hariyanto.
Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti mengungkapkan, gerakan ini terjadi karena sejumlah indikasi kecurangan Pemilu yang dimulai dari pencalonan Gibran menjadi Cawapres pada kontestasi Pilpres 2024.
“Ya, mengapa misalnya para guru besar di berbagai kampus itu menyuarakan bahwa Pemilu ini harus jujur dan adil ya. Kita juga mencatat bahwa kalau melihat dari segi hukum, setidaknya ada dua lembaga yang sudah menyatakan terjadinya pelanggaran etis berat,” ujar Ikrar dalam diskusi Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud bertajuk “Gerakan Intelektual Kampus dan Netralitas Presiden beserta Aparatur Negara dalam Pemilu 2024” di Jakarta, Senin (5/2/2024).
“Kalau dikatakan mereka partisan, menurut saya itu gak benar. Kalau mereka partisan untuk membenahi jalannya pemilu kita agar terhindar dari persoalan-persoalan intimidasi, terjadinya penggunaan kekuasaan secara tidak baik, bukan hanya pembagian Bansos, juga menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi pemilih,” tegas Ikrar.
Baca juga: Anies Baswedan Soroti Putusan DKPP: Jangan Anggap Enteng Soal Etika
Pada ranah media sosial, kata dia, aksi masyarakat sipil ini sempat mendapatkan tudingan bahwa yang bergulir semata-mata diarahkan untuk perang narasi, membela kepentingan tertentu.
Tudingan yang bergulir di media sosial itu mendapatkan reaksi dari sejumlah musisi di platform X (dulu Twitter). Salah satunya adalah Baskara Putra (Hindia). Baskara menuliskan di akun X miliknya @wordfangs “Kampus gerak dibilang dibayar. Siapa aja ada yang gerak dibilang dibayar. Gitu dah kalo kebiasa dapet dukungannya dari bayaran doang.”
Baca juga: Bawaslu RI: Putusan Pelanggaran Etik Ketua KPU Tak Pengaruhi Pencalonan Gibran sebagai Cawapres
Sementara itu, mantan Menristek Muhammad AS Hikam mengungkapkan, gerakan masyarakat sipil yang kian tak terbendung merupakan penolakan atas kembalinya otoriterisme. Hikam berharap aksi masyarakat sipil ini menjadi lebih inklusif.
“Saya melihat pentingnya masyarakat sipil untuk bergerak jangan sampai habis betul-betul. Situasi sekarang begitu pelik dan saya tidak tahu bagaimana kita bisa escape dari masalah ini,” tutur Hikam.