TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres memakan sejumlah korban. Siapa saja mereka?
Majunya putra sulung Presiden Jokowi di Pilpres menuai polemik lantaran awalnya tidak memenuhi syarat batas minimal umur.
Gibran sendiri akhirnya berhasil melaju dan ditetapkan mendampingi Prabowo Subianto sebagai capres dan cawapres.
Namun, setidaknya majunya Gibran tersebut membuat setidaknya tiga orang menjadi "korban". Berikut ini daftarnya.
1. Anwar Usman
Korban pertama adalah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman.
Adik ipar Presiden Joko Widodo ini dinyatakan melanggar kode etik berat berupa benturan kepentingan. Sanksinya berat, dicopot dari jabatan Ketua MK.
Seperti diketahui, adanya putusan MKMK ini buntut MK mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres oleh mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa), Almas Tsaqibbirru pada 16 Oktober 2023 lalu.
Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Anwar Usman, di dalam persidangan, Senin (16/10/2023).
Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi: "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Namun, putusan tersebut kontroversial.
Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar.
Sebab dalam putusan itu kental akan dugaan konflik kepentingan antara Anwar Usman dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Putusan tersebut diduga memuluskan langkah Gibran maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
2. Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari dan jajaran
Korban kedua adalah Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKKP) memberikan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim.
DKPP menyatakan Ketua KPU dan enam anggotanya yaitu Yulianto Sudrajat, August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Idham Holik, Muhammad Afifuddin, dan Parsadaan Harahap telah melanggar beberapa pasal dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2027 tentang Kode Etik dan Pedoman Penyelenggara Pemilu.
Sanksi ini lagi-lagi terkait Gibran.
Hasyim dan kawan-kawan disebut melanggar kode etik pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
KPU langsung menjalankan putusan MK.
Padahal, putusan tersebut harus ditindaklanjuti oleh DPR dan Pemerintah, melalui legislative review dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI menegaskan putusan pelanggaran etik oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari sama sekali tak berkaitan dengan pencalonan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
"Enggak. Ini kan murni putusan etik, enggak ada kaitannya dengan pencalonan. Enggak ada," ujar Ketua DKPP RI Heddy Lugito saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Senin (5/2/2024).
Sebagai informasi, ini kali kedua Hasyim mendapatkan peringatan keras terakhir dari DKPP. Sebelumnya Hasyim dijatuhi sanksi atas perkara Ketua Umum Partai Republik Satu Hasnaeni atau Wanita Emas.
Ia menjelaskan, putusan DKPP bersifat tidak akumulatif. Sehingga putusan kali ini berbeda dengan putusan dalam perkara sidang sebelumnya.
"Keputusan DKPP itu kan sikapnya enggak akumulatif, kasusnya kan juga beda, perkaranya beda, jadi tidak ada putusan yang akumulatif di DKPP dan perkaranya beda," tuturnya.
"Yang dulu yang ini soal pengaduan lain, yang ini pengaduan beda. Itu aja," tegas Heddy.
3. Mahasiswa Hukum Universitas Surakarta (UNSA), Almas Tsaqibbirru
Mahasiswa Hukum Universitas Surakarta (UNSA), Almas Tsaqibbirru Re A kembali menjadi sorotan usai dirinya menggugat cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka.
Dalam gugatannya itu, Almas meminta ganti rugi senilai Rp 10 juta karena diduga Wali Kota Solo itu melakukan wanprestasi.
Kuasa hukum Almas Tsaqibbirru, Arif Sahudi, kemudian buka suara soal gugatan perkara nomor 25/Pdt.G/2024/Pn Skt di Pengadilan Negeri (PN) Solo itu.
Arif menjelaskan gugatan yang diajukan ke PN Solo ini tak lepas dari dikabulkannya perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal Capres dan Cawapres oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang diajukan Almas.
"Mas Almas ingin menuntut kepada Mas Gibran ucapan terima kasih. Karena selama ini Mas Gibran orang baik," katanya.
Almas merupakan mahasiswa yang mengajukan gugatan terkait batas usia minimal capres-cawapres dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan Almas dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 memohon agar batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Dalam gugatannya, pria 23 tahun itu beberapa kali menyebut nama Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Ia mengaku mengagumi sosok putra sulung Presiden Joko Widodo itu.
Ia menilai Gibran mampu membangun kota Solo, termasuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Solo hingga 6,25 persen dari yang sebelumnya berada di angka -1,74 persen.
Almas juga menyertakan hasil survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) terhadap kinerja Gibran, di mana sebanyak 79,3 persen responden mengaku puas dengan kinerja Gibran dan Teguh Prakoso.
Hal itulah yang menjadi alasan bahwa Gibran sudah bisa maju dalam kontestasi Pilpres 2024 dan meminta MK menambahkan klausul “berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota” sebagai syarat mendaftar capres-cawapres.
Gugatan Almas dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 itu kemudian dikabulkan sebagian oleh MK dalam sidang pada 16 Oktober 2023.
Dengan putusan MK ini, maka kepala daerah berusia 40 tahun atau pernah dan sedang menjadi kepala daerah, meski belum berusia 40 tahun, dapat maju menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sehingga Gibran bisa melenggang ke kontestasi Pilpres 2024.