TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penghentian proses rekapitulasi pengitungan perolehan suara tingkat kecamatan oleh Komisi Pemiliha Umum (KPU) menjadi tanda tanya dan menimbulkan kecurigaan.
Tim Hukum Nasional Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mendesak KPU untuk menjelaskan hal tersebut.
Aturan perundang-undangan mengatur bahwa penghitungan suara dilakukan secara manual berjenjang yang begitu panjang dan menjadi hasil resmi Pemilu 2024. Penghentian penghitungan suara itu rawan disusupi dan melanggar administrasi serta pidana pemilu.
“Terlebih selama ada berbagai kejadian temuan ribuan kotak suara yang tidak tersegel menjelang pemungutan suara digelar. Bahkan banyak juga temuan ribuan surat suara pilpres yang sudah tercoblos paslon tertentu, khususnya Paslon 02,” tutur Ketua Umum Tim Hukum AMIN Ari Yusuf Amir dalam jumpa pers di Jalan Brawijaya X, Jakarta, Senin (19/2/2023).
Tim Hukum AMIN menilai KPU juga tidak serius merespons meluasnya keresahan di tengah masyarakat, dan hal itu semakin memperkuat dugaan adanya desain besar kecurangan pemilu. Tim Hukum AMIN mendesak agar dilakukan audit terhadap sistem KPU secara keseluruhan.
Tim Hukum AMIN berpandangan, permasalahan pada Sirekap tidak boleh membuat rekapitulasi di kecamatan ditunda. Kedua hal itu merupakan variabel yang berbeda dan tidak boleh saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Sama seperti quick count, Sirekap hanyalah alat bantu dan bukan data resmi hasil pemilu. Menurut Ari, UU Pemilu menegaskan Sirekap bukanlah basis data dalam rekapitulasi suara manual berjenjang.
Meski demikian, Tim Hukum AMIN juga meminta persoalan Sirekap segera dituntaskan. Kekacauan yang terjadi, di mana banyak sekali kasus penggelembungan suara melalui Sirekap, telah memunculkan kekhawatiran dan kecurigaan.
Tim Hukum AMIN kembali meminta KPU menjelaskan berbagai pertanyaan soal buruknya sistem Sirekap serta problem keamanan data, terkait dugaan keberadaan server Sirekap di luar negeri.
“Maka kami minta KPU segera tuntaskan persoalan Sirekap yang bermasalah itu,” ujar Ari.