Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Co-Captain Tim Pemenangan Nasional (Timnas) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Sudirman Said merespons pernyataan Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sekaligus pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, soal hak angket DPR kurang tepat.
Sudirman menyebut, gejolak sudah terjadi meski hak angket soal dugaan kecurangan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 belum diajukan.
"Ada triger-nya gitu kan. Jadi tidak bisa dipandang karena hak angket terjadi satu gejolak, tidak. Gejolak sudah terjadi akibat tindakan-tindakan yang menabrak norma, menabrak kepatutan, menubruk hukum," kata Sudirman di Kawasan Jakarta Selatan, Jumat (23/2/2024).
Menurut dia, pernyataan Yusril ini merupakan salah satu cara pandang yang salah atau sesat pikir.
Di mata Sudirman, masalah utamanya bukan pada hak angketnya.
Justru Sudirman berpandangan hak angket DPR soal kecurangan pemilu akan membuka peluang untuk menciptakan kestabilan politik.
"Hak angket malah bisa menjadi pintu kepada kestabilan politik karena di sana akan diungkap mana yang benar mana yang salah, mana yang harus diberi sanksi dan sebagainya," tandas Sudirman.
Baca juga: Real Count KPU Pilpres 2024 Terbaru: Prabowo-Gibran 65 Juta Suara, Anies-Muhaimin 26 Juta Lebih
Dewan Pengarah TKN Prabowo-Gibran sekaligus pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra sebelumnya menanggapi isu hak angket DPR terhadap pemerintah atau KPU.
Yusril menjelaskan, untuk mencari penyelesaian atas ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pemilu dan hasilnya khususnya Pilpres, bisa membawa hal itu ke Mahkamah Konstitusi.
Bukan menggunakan hak angket DPR untuk menyelidiki pelaksanaan pemilu yang kewenangan sepenuhnya berada di tangan KPU.
Yusril menjelaskan, keberadaan hak angket memang diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945.
Ketentuan mengenai hak angket dalam pasal tersebut dikaitkan dengan fungsi DPR melakukan pengawasan yang tidak spesifik, tetapi bersifat umum dalam hal pengawasan terhadap hal apa saja yang menjadi obyek pengawasan DPR.
Ketentuan lebih lanjut tentang hak angket dituangkan dalam undang-undang, yakni undang-undang yang mengatur DPR, MPR, dan DPD.
"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini Pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak. Karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," kata Yusril kepada wartawan, Kamis (22/2/2024).
Baca juga: KPU Bakal Lakukan Penghitungan Suara Ulang di 20 Provinsi Termasuk DKI, Ini Daftarnya
Baca juga: Tak hanya Hak Angket, Eep Saefulloh Usul Parpol 01 dan 03 di DPR RI Bentuk Pansus Kecurangan Pilpres
Selain itu, Yusril menjelaskan, berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945 dengan jelas menyatakan, bahwa salah satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini Pilpres pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.
Mantan Menteri Hukum dan HAM ini menjelaskan, para perumus amandemen UUD NRI 1945 telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui badan peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi.
Hal ini dimaksudkan agar perselisihan itu segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan agar tidak menimbulkan kevakuman kekuasaan jika pelantikan Presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.
"Oleh karena itu saya berpendapat, jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan Pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan," ucap dia.
"Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil Pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi, atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," imbuh Yusril.
Dia menerangkan, putusan MK dalam mengadili sengketa Pilpres akan menciptakan kepastian hukum.
Sementara penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian, yang potensial berujung kepada chaos yang harus kita hindari.
"Kalau niatnya mau memakzulkan Jokowi, hal itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran. Proses pemakzulan itu memakan waktu relatif panjang, dimulai dengan angket seperti mereka rencanakan dan diakhiri dengan pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 45," kata Yusril.
Baca juga: KPU Bakal Lakukan Penghitungan Suara Ulang di 20 Provinsi Termasuk DKI, Ini Daftarnya
Selain itu, dia menambahkan, pernyataan pendapat presiden melanggar ketentuan pasal 7B UUD 1945 itu harus diputus MK. Jika MK setuju dengan DPR, maka DPR harus menyampaikan permintaan pemakzulan kepada MPR. Kemudian, tergantung kepada MPR mau apa tidak.
"Proses ini akan berlangsung berbulan-bulan lamanya, dan saya yakin akan melampaui tanggal 20 Oktober 2024 saat jabatan Jokowi berakhir. Kalau 20 Oktober 2024 itu Presiden baru belum dilantik, maka negara ini berada dalam vakum kekuasaan yang membahayakan. Apakah mereka mau melakukan hal seperti itu? Saya kira negara harus diselamatkan," tandas Yusril.